Sekilas Perjalanan Keluarga Alamsyah

Manusia memang tidak tahu masa depan akan seperti apa. Kita hanya bisa menduga dan membuat rencana ke depan harus mengerjakan apa dan mungkin akan tinggal dimana.

Seperti hal nya saya, tidak menyangka setelah lulus kuliah dilamar kekasih hati yang bertemunya saat sama-sama ambil kursus Bahasa Inggris, lalu saya menikah, lalu cepat sekali mendapat rejeki yakni seorang bayi mungil, kemudian tiba-tiba kami bertiga hidup di negeri orang yang sama sekali tidak pernah bayangkan atau bahkan idamkan sebelumnya.

Padahal sebelumnya saya membayangkan dan berencana bahwa setelah kuliah, saya akan mendaftar kerja di instansi pemerintah. Jika belum diterima kerja, saya akan mencari beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang master sambil tetap meneruskan kursus Bahasa Inggris sambil tetap berkegiatan di organisasi lingkungan yang saat itu sedang saya tekuni. Tidak ada bayangan akan menikah cepat hahaha.

Tetapi, semua memang kehendak yang maha pencipta.


Bertemu dengan mas husband dan memiliki bayi mungil Kia adalah anugerah terindah dalam hidup. Saya yang tidak gampang klik dengan seseorang, dan saya rasa butuh usaha ekstra untuk menyamakan visi misi hidup sebelum menjalin sebuah hubungan serius. Rupanya dengan mas husband tidak sesulit itu. Walau sifat kami berbeda jauh, tapi kami gampang klik dan gampang dalam memutuskan sesuatu. Sesuatu ini misalnya jalan-jalan. Berlatar kami punya hobi yang sama, jalan-jalan, jajan, dan suka suasana yang baru, kami selalu melakukan perjalanan saat hari libur tiba. Saya mau flashback kota-kota yang pernah kami kunjungi sebelum pindah ke Taiwan serta cara cari promo hotel murah, kira-kira temans mau lihat ngga ya?hehe.


SOLO
Adalah kota pertama yang kami kunjungi setelah menikah, tepatnya setelah dua minggu menikah. Yup, kami liburan disini tiga hari dua malam. Mas husband memberikan pilihan dan saya diminta pendapat mau jalan-jalan kemana buat kado pernikahan, ke Lombok atau ke Solo. Saya memilih Solo.


Mengapa Solo? Saya terinspirasi bude saya yang kelahiran dan asli Solo. Menurut saya, selain kental akan sejarah budaya Jawa, Solo kota tentram, konon katanya peduduknya alon-alon dan halus tutur bahasanya. Saya ingin berinteraksi dengan masyarakat Solo.


MALANG
Nah ini kota kelahiran saya, ngga afdol rasanya kalau ngga menginap dan berwisata kesini (seharusnya ya). Kenyataannya engga, kami berdua ke Malang dalam rangka saya akan meliput suatu kegiatan. Tapi, sama sekali tidak mengurangi kegembiraan perjalanan dong.



JAKARTA
Sama-sama punya urusan di Jakarta, membuat kami berangkat dan memutuskan menginap selama empat hari tiga malam disini. Lebih asyik lagi saat kopdar dengan teman blogger yang sedang ada di Jakarta. Hahaha, bumil cangkrukan ini namanya. Saya saat itu sedang hamil lima bulan betewei.





Baca juga : Cerita Mendebarkan, Bumil Naik Pesawat.


PAMEKASAN
Saya masih ingat, berangkat ke Pamekasan ini adalah hal yang berat buat saya. Bagaimana tidak, perjalanan jauh ditempuh dengan bus, panas, saat saya puasa dan hamil dua bulan. Tapi demi mendampingi suami yang saat itu sedang jadi pemateri untuk komunitas blogger Madura : Plat M.

Hotel ternyaman di Pamekasan.

Mas husband lagi bicarain tentang berita anti hoax.


BATU
Punya keluarga di Malang adalah salah satu alasan langganan menginap dan berwisata di kota sebelahnya : kota Batu. Saat ke Batu tripnya bertiga karena ada si bayi mungil, Kia. Menginap dua hari satu malam di kota yang terkenal dengan dingin dan sejuk hawanya ini membuat Kia (yang saat itu berusia empat bulan) betah dan kelihatannya dia menikmati perjalanan pertamanya keluar kota ini. Senang rasanya jika bayi tidak rewel saat diajak nge-trip.

Kia nyaman digendongan.

Pagi-pagi digendong Ayah.


LAMONGAN
Kota yang wajib jadi jujukan berikutnya adalah kota yang terkenal dengan kuliner soto nya ini. Mengapa wajib? Karena nenek dan kakek mas husband tinggal disana. Saya merasa asyik sekali karena pergi ke desa Lamongan adalah agenda wajib tahunan. Maklum, saya ini orang kota yang selalu berkecimpung dengan keramaian, pinginnya wisata ke desa yang suasananya sepi nan damai.

Kia dan Ibu punya desa, yeaiyy.


Karena kesamaan hobi jalan-jalan inilah kami terbiasa menggunakan bantuan aplikasi untuk pesan hotel murah tempat kami menginap. Rencananya, nanti kalau pulang ke Indonesia kami ada list kota yang akan dikunjungi, pakai aplikasi lagi dong pastinya. Ada yang tau nama aplikasinya? Yup, saya pakai aplikasi Pegipegi untuk smartphone.

Step 1.

Step 2.

Step 3.

Step 4.


Misal nih, kami ingin pergi ke Bandung tahun depan, bisa booking hotel nya dari sekarang. Harga pun ngga berubah-ubah dan sudah termasuk pajak lho. Pilih hotelnya pun bisa menurut selera, ada yang untuk keluarga, ada katagori mewah, ada pula katagori hemat. Kalau saya ya sudah tentu pilih yang keluarga dan hemat dong. Klik pesan lalu tinggal tunggu hari H nya. Asyik khan?

Doakan kami ya, agar cepat selesai urusan lalu bisa kembali ke Indonesia dan melakukan trip-trip lain.

Wulai Waterfall, History And How To Get There

Earlier Note. Mon maap, karena judul dan artikelnya tidak sepaham, yang judul pakai bahasa Inggris dan artikelnya semua berbahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan ada banyak kalimat berbahasa untuk mendeskripsikan judulnya, saking banyaknya bingung pilih yang mana, alhasil tercetuslah judul yang simpel : Wulai Waterfall History And How To Get There, dirasa judul ini sangat pas mengingat artikel ini sangat panjang dan kali lebar menggambarkan bagaimana cara kesananya. Selamat membaca.


~oOo~


Mas husband nih ngga berhenti-berhentinya kasih tantangan. Kalau kemarin-kemarin soal makanan,  kali ini soal hal jalan-jalan diserahkan ke saya juga. Dari mulai tujuan, transportasi dan budgetnya. Langsung nge-list dong saya, mau kemana aja kalau nanti waktunya jalan-jalan. Tiba-tiba do'i kasih link video youtube destinasi wisata alam. Saya klik, amati dengan seksama, lalu terpukau.

Adalah Wulai Waterfall (烏來瀑布), Wisata Air Terjun yang cantik dan kaya sejarah pribumi Taiwan, dan bikin saya ternganga karena kecantikan alamnya. Saya ternganga sambil tiduran mikcu-in Kia betewe. Setelah Kia tertidur sambil ternganga juga karena kenyang ASI, saya pun bangun dan langsung ambil buku agenda plus bolpoin warna-warni. Mulailah saya corat coret di halaman Next Trip ALK. Semua informasi dari channel youtube kakek guru tersebut saya tuliskan di buku. (Terima kasih buat kakek guru atas informasi lengkapnya).

Singkat cerita, ke Wulai Waterfall nya terealisasi Kamis kemarin.


Seperti biasa, dari apartemen kami naik bus ke MRT Gongguan (Green Line), lalu dari Gongguan kami naik kereta ke MRT Xindian (Green Line). Teriknya matahari kota Taipei seperti takut masuk daerah New Taipei City (Xindian). Cuaca tiba-tiba berubah mendung. Hati deg-degan dong, kalau sampai di air terjun dan hujan, yaa udin, wassalamualaikum pulang aja kalau gitu.


Dari Xindian, kami naik bus (yang cuma ada satu-satunya) ke Wulai, yakni bus dengan nomor punggung 849. Nantinya kami akan turun di stasiun pemberhentian terakhir bus 849 : Wulai Bus Station.

Tuh kan benar, mataharinya tenggelam tiba-tiba, eh maksudnya tenggelam tertutup awan kabut District Xindian. Sepanjang jalan yang berliku-liku (sungguhan berliku-liku dan berkelok-kelok), hanya nampak kabut dan rintik hujan. Apakah memang karena cuaca suka hujan? Padahal ini kan waktunya musim panas bro, di youtube kakek guru tadi nampak terang Wulai Waterfall nya karena cuacanya cerah. Huft, yauda deh diterima aja. Sabar ya, perjalanan masih lanjut kok. Kia aman, tertidur sepanjang perjalanan. Dan Ayah? Ngga keliatan sih, do'i duduk dibelakang kursi saya, kayaknya sih sepanjang perjalanan do'i melakukan kebiasaannya : mentelengin handphone.

Bus melaju dengan cepat. Pak supir nya cekatan menyetir di jalanan belok-belok walau terlihat fisik beliau mpun sepuh. Ya memang, orang tua di Taiwan rata-rata tidak bisa diremehkan. Slogan 'Yang Tua Yang Berpengalaman' memang cocok disanding mereka. Dari banyaknya jalan yang berkelok tersebut (bahkan ada kelokan jalan yang berputar hampir 360 derajat dan diporos jalan adalah jurang bro), terasa gunung demi gunung pun terlewati. Di setiap pemberhentian, bus kadang berhenti kadang tidak, tergantung ada penumpang yang turun dan atau ada penumpang yang ngawe-awe ingin naik bus ato tidak. Didalam bus pun kebanyakan penumpang yang berusia senja, ada yang membawa tongkat, ada pula yang berambut putih tapi manggul tas ransel yang isinya terlihat penuh, ada juga yang membawa payung dan payungnya dibuat tongkat. Jadi sekelebat menilai bahwa Wulai ini adalah daerah pedesaan yang penduduknya didominasi oleh yang berusia diatas produktif. Hmmm...

Kia pun terbangun satu menit sebelum sampai. Tolah toleh seperti biasanya, lalu ndusel-ndusel minta mikcu. #eh. Bentar lagi sampai dek... Sabar ya.

Wulai Bus Station

Sampailah kami dipemberhentian terakhir (Wulai Bus Station), dan..... HUJAN. Whattt, ini kan musim panas hiks. Bawa Kia, bawa stroller dan cuma bawa payung satu, kecil pula. WASSALAAAMMM... Keluar bus langsung lari-larian ke tempat orang-orang menunggu keberangkatan bus selanjutnya ke arah Taipei. Hanya disitulah tempat yang iyup dan terlindungi dari hujan. Banyaknya orang yang juga berteduh, bikin mas husband membuat keputusan untuk berpindah ke gedung yang berjarak 100 meter-an dari tempat ini. Baiq, lari-larian lagi kitaaa.

Rupanya gedung yang kami tuju adalah tempat parkir mobil dan motor. Parkir mobil aja segini mewaaah (batin saya) hahaha. Ngga bisa kami berdiam diri menunggu hujan reda di parkir mobil yang tak ramah manusia ini (maksudnya ngga ada tempat duduk ataupun makanan hehe), ya mana ada juga kalik Lis cuma parkir mobil tapi ada kantinnya, ya kalik--ini kan Taiwan semua ada dan terjadi disini,, malah pikirannya ngobrol sendiri.

Di selatan parkir mobil ada berjejer gedung-gedung yang lantai bawahnya terlihat ramai. Saya memfokuskan mata, terlihat lah ada Family Mart diantara gedung-gedung. Seakan mas husband mengetahui pikiran saya, diputuskanlah kami berpindah tempat meninggalkan gedung. Kami lari kecil 'lagi'. Saya kira belok kiri ke Family Mart, rupanya mas husband malah belok ke kanan. Alasannya, Family Mart penuh dan pasti ngga ada tempat duduk, kalau disini sepi dan ada makanannya. Sini?

Yang sedang dituju mas husband ini sebuah cafe kecil bernama Naughty Food. Saya tidak melihat ada cafe, justru yang saya lihat ada dua kios kecil menjual ice cream dan kopi. Rupanya dibelakang kios kecil ini ada pintu masuk menuju cafe. Dengan segera pelayannya menyapa kami dengan bahasa Zhongwen. Saya jelas melongo, untung mas husband sudah pasang badan. Walau nampak ada kebingungan di raut wajah do'i, tapi do'i tetap maju, mencoba mengerti apa yang dikatakan pelayan itu. Kami menuju etalase besar dan pesan disitu. Setelah pesan, kami mengambil posisi wenak untuk duduk.

Bukan makna harfiah.

Menu.

Pesan disini.

Tepuk tangan

Kia, yang sedari tadi duduk di stroller, malah minta berdiri. Nggeremet lah dia. Lucuk banget sih dia. Pingin cium cubit, gemmess. Untung anak sendiri ya, jadi bisa sesuka hati ngapa-ngapain dia ha ha.

Ngga lama pesanan datang satu persatu, mulai dari minuman kemudian makanan pesanan mas husband dan saya. Punya Kia? Sudah sangu dari rumah, as usual. Ngga lama pula kami langsung menyantap sajian Naughty Food ini. As usual juga, saya makan sambil menyuapi Kia.

Pineapple Blue Citrus.

Pesanan Ayah. Beef Cheese Egg.

Pesanan Ibu. Fish Steak Cheese.

Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan. Berjalan ke selatan dan melewati jembatan yang dibawahnya terdapat sungai panjang nan dalam. Yang mana ada pemandangan cantik yang bisa dinikmati dari atas sungai. Nama sungainya Tonghou River. Sungai ini adalah saksi bisu kehidupan Suku Atayal (Atayal Tribe) yang merupakan kelompok pribumi terbesar ketiga di Taiwan. Jalanan setelah jembatan dinamakan Wulai Old Street. Jika nanti temans datang kesini, bisa mampir di Museum Wulai Atayal, disanalah tempat disimpannya beberapa peninggalan Suku Atayal, disana juga temans akan mendapat informasi dalam bahasa Inggris dan Mandarin mengenai asal usul dan cara hidup Suku Atayal.

Tonghou River

Welfie diatas jembatan Tonghou River.

Museum Wulai Atayal

Wulai Old Street.

Kami ngga mampir museum nya, karena mumpung ada kesempatan ke wisata air terjun sebelum hujan turun lagi. Jadi museumnya hanya lewat saja.

Di Wulai Old Street ada banyak sekali yang dijual disini. Berbagai macam aksesoris khas suku Atayal pun juga dijual disini. Mayan bisa dibuat kenang-kenangan ya. Kalau ada yang tanya : Ini beli dimana, Lis?. Bisa dijawab, "Di tempat kehidupan kelompok suku terbesar ketiga di Taiwan, Wulai", #tsah sambil kibas jilbab. Langsung deh ditampol talenan kebanyakan gaya hahaha. Selain aksesoris ada juga yang menjual makanan lho. Tidak bisa melihat detail makanannya, apalagi memilah mana yang halal ato tidak, karena mengejar waktu ke air terjun, yuk dah cuss.

Di penghujung Old Street, ada sebuah jembatan tua namanya Lansheng Bridge, yang kebetulan disebelahnya sedang dibangun jembatan baru. Kalau dilihat-lihat kebawah jembatan, masya allah sungainya lebar lagi dalam lagi deras pula. Hujan pun turun lagi, ngga langsung byor, tapi dicicil gitu (kayak nyicil utang lama lunasnya #ehh) alias rintik-rintik. Dan kalau dilihat langitnya yang mulai mendung, hujan rintik ini berpotensi menjadi hujan lebat. Benar saja, baru melintas ditengah jembatan, hujan sudah kayak ditumpahin di atas kepala. Untung stroller Kia ada kanopinya, untung juga kami berdua sama-sama pakai topi. Lari-lari lagi kami mencari tempat berteduh.

Pemandangan Nanshi River dari atas Lansheng Bridge.

Mas husband memilih berteduh di Seven Eleven yang letaknya tak jauh dari jembatan. Sambil menunggu hujan reda, kemi tak sengaja ikut arus berbincang dengan seorang wanita (berkulit coklat berdandan menor dan berpakaian sexy) yang asalnya dari Indonesia, yang ikut berteduh dengan teman (atau mungkin pacarnya--atau suaminya mungkin--karena mesra banget mereka berdua kelihatannya) yang merupakan penduduk lokal (nampaknya beliau orang kantoran, nampak dari kemeja lengan panjangnya yang formal serta celana kainnya yang nampak masih licin dan bermerk). Saya dan mas husband kemudian lirik-lirikan, sepertinya kami mendapati pikiran kami yang sama-sama terkoneksi dengan cerita-cerita TKI Indonesia yang sedang menjalin hubungan dengan majikan atau kenalannya yang merupakan penduduk Taiwan dengan harta yang oke punya. Hahaha, skip aja ya, Yuk mari kita berpikiran positif. Karena mbak ini suka sama Kia, saya pun menepis semua pikiran negatif itu dan membalas ramah mbak nya.

Hujan pun kembali rintik-rintik. Karena kami hanya punya satu payung, kami menolak ajakan mbak dan temannya itu untuk bebarengan ke air terjun. Mas husband mempersilahkan mereka untuk berangkat dulu, kemudian membeli payung kecil di Seven Eleven.

Mau jalan lha kok hujannya reda hahaha, diringkes deh payung barunya. Hujannya ini memang ngga niat kok #eh Astaghfirullohal 'adziim...

Ke atas ke mana?

Kami berjalan mengikuti google maps, kalau dari SevEl sebelah kanannya, kemudian berjalan lurus dan menemukan ada papan informasi. Air terjun Wulai dapat dicapai menggunakan transportasi wisata umum : Log Car.

Kalau pakai kendaraan pribadi menuju air terjun, bisa lewat sini.

Untuk mencapai air terjun dapat juga menggunakan transportasi sendiri (seperti sepeda motor; mobil dan bus). Tentunya dari kedua cara ini terdapat jalan yang berbeda.

Dilihat dari papan informasi, jika menggunakan transportasi pribadi dapat melalui jalanan aspal (sebelah kiri papan informasi), sementara jika ingin naik Log Car harus menuju ke atas. Ke atas???



lanjut >>

Wulai Waterfall, History And How To Get There (Part 2)


Celingak celinguk, yang dimaksud atas ini, atas yang mana? Lha kalau ke atas satu-satunya jalan ya cuma lewat anak tangga yang ngga bisa dihitung dengan jari. Dan rupanya benar, ke Log Car harus lewat tangga ini, pun ada papan informasinya di dekat sebuah cafe.

Menurut gmaps, nama cafe ini adalah Helen Coffee Mobile Espresso. Cafe yang unik dengan pemandangan yang cantik, kapan-kapan kalau kesini lagi mampir cafe ini ya ayy (colek mas husband). Oiya, di belakang cafe ini ada tulisan Wulai Trolley, tulisannya sangat besar sehingga bisa dilihat dari jembatan Lansheng tadi. Mungkin ini bisa dijadikan acuan (agar tidak kebingungan seperti kami), jika temans mau naik Log Car.

Artinya selamat berolahraga.

Kelihatan papan informasi bertuliskan "Wulai Trolley"? Itu ada disebelah kiri.

Huft, olahraga ditengah cuaca hujan dan suhu yang pengap. (FYI, Taipei dan sekitarnya, kalau habis hujan hawanya tidak segar layaknya di Indonesia, tapi engap dan sumuk). Mas husband membawa naik stroller dan barang-barang kecil, saya membawa Kia dan ransel. Pengorbanan yang luar biasa ya untuk mencapai Wulai Log Car Station ini.

Sampai di stasiun log car, huft, nafas dulu. Ngos-ngosan. Dan langsung di sorot mas husband pake kamera, alasannya mau bikin vlog, lha kok baru sekarang nge-video-in nya???!.

Jika anda melihat ada kereta lewat dan anda disuruh berhenti, SELAMAT, anda sudah sampai tujuan.



Budayakan antri.


Informasi biaya log car.
 
Ada antrian panjang orang-orang yang mau naik log car. Sembari menunggu antrian panjang, saya ingin menunjukkan foto ini.

Diambil menggunakan Mode Panorama #S7EdgeLisa

Yup, ini adalah foto sejarah kereta log yang akan kami naiki. Jika saya tidak salah menerjemahkan (dari foto diatas hingga brosur informasi yang dapat diambil di Wulai Forestry Living Museum), cerita log car pada mulanya adalah digunakan sebagai pengangkut kayu atau pekerja yang tinggal di dekat air terjun atau wisatawan yang ingin datang ke air terjun. Log car merupakan transportasi hasil dari kerja sama suku Atayal dan pemerintah Taiwan. Seiring dengan majunya pembangunan daerah Wulai, terjadi pula perkembangan peradaban Suku Atayal. Dari yang sangat tradisional menjadi mengenal teknologi. Pada tahun 1963, log car semula dijalankan oleh tenaga manusia. Namun pada tahun 1974, log car berubah menggunakan mesin. Jalanan Log Car semula berliku-liku dan panjang, namun seiring dengan beralihnya fungsi log car (yang semula utamanya mengangkut kayu ke hanya mengangkut wisatawan), rute log car dipangkas tinggal 1,6km (dari Wulai Log Car Station hingga Wulai Waterfall Station).

Giliran mas husband maju ke depan loket, saya dan Kia menunggu di samping. Setelah mas husband mendapat tiket, kami langsung beres-beres. Diputuskanlah stroller dan tripod ditinggal di stasiun karena mendapati cuaca seperti ini pasti tidak akan sempat mengabadikan momen dengan baik. Pegawai perempuan memperbolehkan stroller kami ditinggal dekat loket, kemudian meminta kami agar segera naik log car.

Subhanallah..

Masya Allah..

Allahuakbar..

Sekitar lima belas menit kami menempuh perjalanan dari Log Car Station hingga Waterfall Station. Jika melihat agak kebawah, kita bisa lihat Sungai Nanshi (Nanshi River) yang sangat panjang, dipenuhi oleh bebatuan di bantaran sungainya dan jernih airnya. Sepanjang perjalanan itu pula kami disuguhkan pemandangan tebing gunung yang hijau dan asri, sayang sekali banyaknya kabut dan cuaca mendung bikin momen berkurang nikmatnya. Tapi tak apa, yang penting Kia happy.

Sampai di Waterfall Station dan hujan rintik-rintik lagi. Fiuh nasib emang. Kami lari-lari kecil ke selatan stasiun kereta, ke tempat yang kelihatannya seperti barisan bangunan tua namun disulap menjadi ramah wisatawan. Disana ada yang menjual makanan, ada cafe kecil dengan pemandangan air terjun, ada pula penginapan atau hotel yang berjajar.

Lihat jalanannya, istimewa.

Alhamdulillah, kami sampai juga di tempat air terjun. Air terjun Wulai dan sekitarnya memang untuk wisatawan, namun wisatawan yang datang tidak ada akses umum untuk 'menyentuh secara langsung' kaki air terjun. Kami hanya bisa melihat air terjun dari seberang. Dan tepi tebing tempat kami berdiri dibuat sangat aman bagi wisatawan.

Sampai di lokasi air terjun, tempat yang pertama kali membuat kami tertarik untuk berkunjung adalah Wulai Forestry Living Museum. Sebuah museum yang terdapat sejarah log car dan segala hal tentang kawasan Wulai. Saat kami datang, petugas yang menjaga museum hanya satu dan beliau melayani satu rombongan keluarga yang berkunjung sebelum kami.

Kami bertiga menjelajah museum sendiri, dan Kia pun punya cara menikmati museum ini yakni berjalan mendekati rombongan (sehingga secara tidak langsung dia jadi hiburan buat rombongan keluarga tersebut) dan berjalan naik ke tangga.

Saya tidak tau persisnya berapa jumlah lantai gedung museum ini, tapi yang jelas lantai museum dimulai dari saat kami masuk ke gedung, kemudian ada dua lantai kebawah dan (nampaknya) ada lantai keatas yang tertutup untuk umum. Museum ini memang tidak besar dan megah, namun properti didalamnya ditata secara apik dan unik sehingga pengunjung yang datang selalu tertarik menjelajah di setiap sudut museum.

Replika log car yang mengangkut manusia.

Replika log car yang mengangkut kayu ada dibelakang patung.

Sebut saja lantai pertama, adalah lantai yang kami masuki pertama kali. Baru saja kami masuk pintu kacanya, kami sudah langsung berhadapan dengan replika log car. Replika log car ada dua macam, yang satu untuk mengangkut manusia dan yang satu lagi untuk mengangkut kayu. Temans kalau kesini pasti sudah bisa membedakan log car mana yang untuk manusia dan yang untuk kayu, tanpa melihat deskripsi yang ada disamping replika. Selain replika, di ruangan yang sama, juga terdapat banyak informasi tentang perjalanan log car yang berkorelasi dengan kehidupan Suku Atayal. Di ruangan yang berbeda, terdapat mini bioskop (kalau saya bilang hehe), yang digunakan untuk melihat dokumentasi perjalanan log car dan kehidupan disekitarnya.

Replika rel log car.

Karena tidak boleh naik keatas, kami turun kebawah melalui satu-satunya tangga. Setelah turun tangga, kami dihadapkan dengan replika rute rel log car dan banyak papan yang berdiri dan tertulis segala informasi tentangnya. Jika temans melihat ada papan yang bertuliskan 'Wulai's Small Jiufen, Simple Life In The Mountain'. Mungkin bisa dibaca, siapa tau hatinya tergetar setelah membaca, seperti saya hehe. Di ruangan berbeda, terdapat mini perpustakaan yang dibuat sangat cozy dan comfy dengan pemandangan aliran air terjun yang sangat jelas dari balik kaca. Sambil membaca buku, sambil menikmati pemandangan air terjun. Mungkin saja bisa sambil makan, mungkin juga tidak (karena saya tidak melihat tanda dilarang membawa makanan disini--atau informasi larangan itu ada namun luput dari pandangan saya). Sebaiknya tidak makan dan minum di ruangan perpustakaan deh ya, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap buku-buku disana.

Hujan...huhuhu.

Yang ada di foto ini hanyalah fiksi belaka (1). Tumben bukunya ngga kebalik pak dosen?

Yang ada di foto ini hanyalah fiksi belaka (2). Posenya ngga nget deh, beginilah kalau dosen jadi juru foto.

Dari kaca perpustakaan, jika melihat ke bawah terdapat tempat yang pas untuk melihat kaki air terjun. Kami bergegas turun karena nampaknya pengunjung mulai banyak berdatangan. Dan benar saja, saat turun ke lantai bawah, melewati ruangan pertemuan, terdapat serambi yang memang khusus diperuntukkan pengunjung menikmati pemandangan kaki air terjun.

Nampaknya dijadikan ruang pertemuan.

Serambi yang langsung menghadap kaki air terjun.

Hujan rintik-rintik masih berlanjut, dan hawa sumuk tak pernah berganti hawa segar. Bingung juga saya, padahal tempat ini berada di kaki gunung, dan sejauh mata memandang hanya terlihat hijaunya bukit dan birunya air sungai. Kami mengambil tempat duduk dan menikmati suasana air terjun. Terus berdzikir dalam hati karena bisa menikmati suasana alam yang sangat asri, jauh dari hiruk pikuk dan kepadatan kota Taipei.

Love.

Kuasa Allah...

Kia asyik dengan menjelajah serambi yang baru dia kunjungi ini. Yaa, Kia baru pertama kali ke wisata air terjun. Sangat bersyukur saya, melihat serambi yang aman untuk pengunjung, jadi untuk Kia, dia bisa bebas berjalan dan mengamati hal baru saat hujan berhenti. Dan lagi-lagi dia jadi pusat perhatian bagi pengunjung lainnya. Ada batita berjilbab dan bermata sipit (semakin sipit--segaris saat dia ketawa) yang embul ginuk-ginuk sedang berjalan tunuk-tunuk sambil mengamati sesuatu di tengah pemandangan air terjun.

Kiss Kia, sampai mulutnya mecucu kejepit pipi hahaha.

Saya membuka bekal untuk dimakan. Dan kami puas berlama-lama disini. Dari atas air terjun terdapat beberapa kabel yang terhubung antar bukit. Kebayang ngga kalau ternyata kabel tersebut merupakan jalur kereta yang menghubungkan kawasan wisata Wulai Waterfall dengan resort yang ada di atas air terjun. Nama resortnya Yun Hsien Resort dan nama keretanya Cabel Car. Masih ingat youtube saya tentang Maokong Gondola? Nah sistem kereta yang ditarik dan dijalankan melalui kabel Gondola mirip dengan cabel car yang ada di Wulai. Memang saya penasaran terhadap resort yang ada di air terjun, namun sudah merasa puas dengan pemandangan dan perjalanan ke Wulai ini. Mas husband menjanjikan nanti kalau ke atas harus menginap dan dijadikan ajang refreshing saat liburan. Yeeaaiiiyyy. In sya Allah.

Cable Car.

Hari makin sore dan mulai gelap. Sekarang ini, di Taipei kalau gelap berarti menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Namun di kawasan Wulai Waterfall, pukul lima kurang sudah gelap. Memang disuruh untuk segera pulang nih.

Kami naik tangga menuju lantai pertama, dan keluar dari museum. Hujan masih rintik-rintik ringan jadi kami tidak terlalu memerlukan payung. FYI, didinding tangga museum bertuliskan informasi mengenai kawasan Wulai, bisa dibaca, untuk menambah wawasan sejarah kelompok pribumi terbesar ketiga di Taiwan dan peradabannya.

Sebelum berjalan ke arah Waterfall Station, mas husband mengajak untuk menjelajah ke selatan museum. Saya melihat ada banyak mobil bagus terparkir disepanjang jalan. Dan di balik rumah; toko; dan cafe dipinggir jalan ini, terdapat hotel yang berjajar. Hmmm benar-benar wisata yang terkonsep rapi.

Beautiful Scene.

Kami putar balik karena terasa sudah terlalu jauh berjalan. Kembali ke jalan menuju museum dan membeli tiket balik log car. Harga tiket yang kami bayar waktu pulang sama seperti saat berangkat, yakni 100NTD untuk dua orang dewasa. Anak dibawah umur tujuh tahun tidak dikenakan biaya.

Loket tiket Waterfall Station, letaknya tepat didepan Wulai Forestry Living Museum.



Lorong untuk kereta berbelok.

Jalan pulang pun sama dengan jalan berangkat : naik log car kembali ke Wulai Log Car Station, kemudian turun tangga dan berjalan melalui Lansheng Bridge, jalan melewati Wulai Old Street, Tonghou River, dan kembali ke Wulai Bus Station.

Sampai di tempat menunggu bus, hujan kian deras. Derasnya hujan tidak mengganggu Kia yang khusyu bermimpi, yap dia tertidur di stroller sepanjang perjalanan pulang. Anak pintar, perjalanan berangkat tidur, perjalanan pulang pun tidur, sampai tujuan lalu bangun. Bus 849 pun datang dan kami langsung naik bus sesuai antrian. Pulang ke Taipei, kitaaa!!


~oOo~


Conclusion,
How To Get There and Budget You Should Have.

MRT Xindian (Jalur Hijau / Green Line).
Bus 849 dari MRT Xindian ke Wulai Bus Station (nge-pip easy card 2x diawal dan diakhir) 30NTD.
Wulai Old Street.
Lansheng Bridge.
Wulai Log Car Station 50NTD/adult/one way dan 30NTD/special/one way (usia antara 7-13 tahun dan usia diatas 65 tahun) dan free (anak dibawah usia 7 tahun dan difabel). Buka weekday & weekend (08.00-17.00), musim panas/Juli sampai Agustus (09.00-18.00).
Wulai Waterfall Station sama seperti Wulai Log Car Station.