Inner Child, Ekspektasi, dan Secuil Dunia Sekolah Taiwan : untuk Saya dan Kia



Dear parents, bagaimana sih jadi orang tua yang benar?

Pertanyaan ini selalu berputar-putar dikepala. Dan lima tahun saya jadi orang tua, saya belum menemukan jawaban yang tepat.


Saya jadi teringat masa kecil, saya yang sekarang tersentil dengan postingan seorang teman yang saya kagumi kejeniusannya dalam mengelola pikiran dan tenaganya sehari-hari untuk mengurus suami dan ketiga anaknya. Bagaimana cara beliau mengurus itu semua? Pernahkah kepala dan hati beliau meleduk karena kelebihan beban plus kecapekan fisik?

Postingan beliau menyinggung tentang inner child yang tak membahagiakan. Saya tersentil, namun sedang berusaha tak membiarkan jadi berlarut-larut.


Hari pertama Kia sekolah, saya memiliki ekspektasi tinggi, padahal jauh jauh hari saya sudah mbatin : dia cuma anak-anak Lis, jangan naruh harapan terlalu tinggi, nanti bisa jadi keberatan tuntutan ke dia. Biarkan anakmu jadi anak-anak dan dewasa sesuai usianya. Jangan jadikan masa kanak-kanaknya cerminan masa kanak-kanakmu yang penuh tuntutan dan harapan itu. Jangan...

Terlalu banyak jangan, justru jadi lupa, bagaimana cara menghindari sebuah kubangan. Terlalu banyak jangan, justru jadi tinggi ekspektasi.


Public school di Taipei adalah tempat idaman saya untuk menyekolahkan Kia sedari dua tahun lalu, sedari Kia masih berusia dua tahun. Lantaran saya suka kedisiplinan sekolahnya. Khas orang Taiwan, kalau aturannya A ya pasti A.


Kia diterima di Public School terbagus di Banqiao District (menurut teman satu lab mas husband--yang merupakan alumni SD si Public School ini--pun dalam pendaftaran masuk sekolah Kia, temannya inilah yang membantu dari awal). Semua persyaratan sudah dipenuhi, semua peralatan sekolah sudah disetorkan. Tinggal masuk aja nih--kelas Snopi A. Lalu semua runtuh setelah pertemuan asosiasi orang tua wali murid. Mas husband yang datang ke pertemuan tersebut dan saya mendengarkan cerita do'i dengan seksama.

 


 

A : Anak saya tidak makan babi.
T : Ah.. (garuk-garuk kepala, mikir namun tak menemukan solusi). Bagaimana ya, makan siang kami dumpling dan pakai daging babi. Bagaimana kalau sayuran?
A : Ya itu lebih baik.

Bukan maksud kami sebagai orang tua 'foreigner' yang cerewet membebani guru-guru Public School tersebut. Ibarat kata seperti pengalaman kami saat menginap di hotel, jauh-jauh hari saat booking sudah bilang sarapannya ngga mau menu babi, selain itu oke, dikasih hanya sayuran vege pun no problem, ternyata di hari H menunya babi semua karena chef nya tidak diingatkan kembali kalau satu penghuni kamar pantang makan babi, kami batal sarapan pun masih bisa cari makan diluar dan ga masalah uang sarapan hangus. Nah kalau dikata anak-anak yang setiap harinya datang ke sekolah dan belajar dan tinggal makan saat jam istirahat siang, iya kalau juru masak sekolahnya ingat kalau ada satu muridnya ngga makan babi, lha kalau lupa, mana ada juga yang ingetin juru masak kan, semua punya tugas masing-masing. Naudzubillahmindzaliik.

For your information, makan babi di Taiwan seperti makan ayam di Indonesia. Lumrah.

Tak ada pembicaraan mengenai bekal dari rumah, lack of language kendalanya, udah saat itu juga langsung kami putuskan untuk tidak memasukkan Kia ke sekolah umum. Hati jadi tak tenang dibuatnya.


Mas husband memutuskan satu hari libur untuk mengurus semuanya. Banting setir, cancel kontrak sekolah dan semua peralatan sekolah Kia dari Public School diboyong ke Islamic School. Biarlah dikata si Islamic School punya jarak jauh dari rumah, akses susah karena harus oper-oper MRT. Namun hati tenang dan ikhlas karena sekolah ini punya visi misi sekolah islam. In sya allah...

Memang masalahnya hanya karena si babi, kami urung niat memasukkan Kia ke Public School. Menyesal dan eman sebenarnya, karena disiplin sekolah yang saya suka. Tapi jika kami sebagai orang tua lalai akan ini dan tanpa sengaja anak makan babi, maka kami lah yang pertama dan langsung terjun bebas ke neraka dibuatnya. Naudzubillahmindzaliik..

 


Hari pertama Kia sekolah di Islamic School, saya tak serta merta meninggalkan dia. Walau disini ada peraturan anak sekolah 'tidak boleh' ditunggui orang tua, tapi karena diijinkan oleh laoshe nya, tak apalah tunggu sejam dua jam sambil lihat kondisi sekolah. Dan saya terkaget-kaget dibuatnya.


Seorang anak laki-laki yang sangat aktif melintas dihadapan saya. Tanpa permisi tanpa sapa. Dia hanya tertunduk, matanya terlihat kosong namun pikirannya terisi, dan gerakan tangan kakinya lincah bak mesin--tak terkendali. Saya mengenalinya karena dia anak seorang teman. Ibunya adalah yang paling pintar diantara kami, lanjut sekolah di kampus nomor satu Taiwan. Bapaknya pun lanjut sekolah sama seperti Ayah Kia, mereka berkawan dari lama sepertinya, mungkin kenal saat sama-sama S2 disini.

Kelihatannya tak ada seorang guru pun yang mampu mengendalikannya, atau mungkin tak ada seorangpun yang mampu mengendalikan kelincahan tubuhnya. Seketika pikiran saya KLIK, anak ini butuh perhatian bukan suruhan. Ada banyak kabut dipikirannya, berharap orang terdekatlah--yang selalu ada dihatinya yang membantu menolong menghempaskan kumpulan kabut tersebut. Namun entahlah, dia terlihat tidak puas akan keinginannya atau kebutuhannya.

 

Saya KLIK, karena mendadak saya teringat Kia. Tingkah laku Kia di hari pertama dia sekolah membuat saya terkaget-kaget, kenapa ngga jauh berbeda dengan anak laki-laki tadi? Saya jadi spontan membandingkan dia dengan teman seusianya yang patuh dan selalu mengerjakan apa-apa yang laoshe minta. Padahal saya yakin teman seusianya pun juga sedang belajar bahasa Zhongwen dan English saat ini, dan itu lumayan bikin stress anak-anak karen harus belajar tiga bahasa sekaligus.

Padahal saya sudah menurunkan keperfeksionisan saya akan tuntutan untuk anak. Padahal padahal padahal, jangan jangan jangan.

 


 

Sejatinya, Kia always do best behaviour at home, bantu saya mengerjakan pekerjaan rumah, bantu membereskan mainannya sendiri, bantu menjaga adiknya, diminta atau tidak. Entah mengapa, saat di sekolah, saat bertemu dengan teman-teman dan ada banyak mainan, dia hanya mau main main dan kurang bisa duduk tenang untuk berkonsentrasi. Walaupun memang dia masih anak-anak dan mas husband memaklumi itu. Sharing dengan Ibu-Ibu yang lain, rupanya memang Kia tidak sendiri, beberapa teman-temannya pun juga menunjukkan perbedaan perilaku ketika di rumah dan di sekolah. Laoshe nya bilang, ini wajar, terkadang anak-anak butuh adaptasi untuk berkonsentrasi sekitar satu minggu lamanya, minimal. At least, Kia anaknya pemberani, dia bahkan tidak keberatan ditinggal, tidak menangis dan tidak rewel. She is fun and such positive girl, kata laoshe nya, ngga jarang Kia suka bikin guru-gurunya tertawa bersamaan disela pelajaran berlangsung.

((Tarik nafas, buang nafas)). Ada positif ada pula negatifnya. Saya yang sifatnya idealis lagi introvert lagi perfeksionis ini sejatinya ingin menyeimbangkannya. Ingin membiarkan Kia dengan sifat dagelan dan positifnya, namun juga tak ingin Kia kehilangan kesempatan untuk belajar di sekolah. Sangat sangat berharap dia punya grafik naik terhadap semangat belajarnya.


Dear parents, sekali lagi saya ingin bertanya, bagaimana kah cara menjadi orang tua yang benar?


Sejatinya inner child saya menghantui. Menghantui saya, membuat saya selalu tidak puas akan keputusan diri sendiri, membuat saya selalu merasa bahwa diri ini belum selesai urusannya mengapa harus bergegas menyelesaikan urusan orang lain--anak sendiri? 

Clue, Ibu saya seorang wanita mandiri dan diktator dan tak bisa ditekuk keinginannya. Dan saya yang sekarang mungkin menjadi cerminan beliau. Walau saya selalu meminta saran, pandangan dan pemikiran mas husband,, nampaknya saya terlalu bebal pikirannya. Kalau sudah A ya A.

Apakah ada yang menyarankan, sembuhkan dulu pikiran dan hati dari bad inner child yang menghantui? Believe me, saya pun sudah sejak lama memikirkan ini. Tapi sebanyak apapun buku, referensi, story parenting yang saya baca,, saya pun jadi seolah tak mengerti apa-apa tentang ini.


Dari lubuk hati terdalam, saya sangat sayang anak saya dan tak ingin dia jadi cerminan saya yang punya masa kecil tak bahagia. Saya tak ingin jadi diktator karena saya ingin punya prinsip burden free life. Tapi saya sangat concern terhadap pendidikan anak. Saya ganas kalau berhadapan dengan yang namanya belajar dan saya ingin Kia meniru saya.

Dear hati, dear pikiran, berdamailah.. Kita seorang diri dinegeri orang. Kita ngga punya siapa-siapa selain diri ini. Kita harus bisa mengandalkan satu sama lain.

Dear anakku sayang, Ibu yakin kamu pandai, Ibu bisa lihat kamu selalu antusias terhadap buku; membaca dan bersosialisasi dengan teman-teman. Ibu harap kamu bisa menemukan jalan untuk menyeimbangkannya. Ibu hanya memberikan wadahnya saja, berharap kamu bisa memanfaatkan dan mengisi wadah tersebut dengan sesuatu yang berguna. Maafkan Ibu yang penuh tuntutan ini..

Dear my mom, I know your life was hard. Really hard so you could not enjoy every second in your life with little happiness. And forgive me always made your life harder.


Dear parents, sejatinya tak ada yang bisa mengukur dan memastikan cara menjadi orang tua yang benar. Karena apa, karena kita berhak salah dan berhak belajar untuk jadi lebih baik. Karena menjadi orang tua adalah suatu proses yang dijalankan seumur hidup. Karena menjadi orang tua bukanlah seperti ajang kompetisi, tak boleh ada yang namanya menghakimi dan merasa menjadi benar.

With ❤️,

From Lisa dan duo singkek.