"Enak ngga Lis? Uda lama pengen nyobain tapi belom kesampaian nih"
Belom dijawab, tetiba otak saya tanya balik, "Ini Sate House sama ngga ya kayak Sate House di Bandung, mbak?". Secara yang nanya mbak mbak asli Bandung~
(磐石坊- 正宗印尼料理) Sate House di Taipei Taiwan ini kabarnya berdiri dari tahun 2003 (wah saya baru masuk SMP tuh) dan ownernya (keturunan Tionghoa-Indonesia) memiliki visi misi mengenalkan masakan Indonesia yang terkenal rumit dengan harapan mampu memanjakan dan memuaskan lidah pelanggannya. Kalau dilihat dari properti penghias ruangan restonya, Sate House beberapa kali mendapatkan penghargaan nih gengs. Tambah penasaran deh mas husband ingin segera nge-lahap hidangannya.
Mas husband??? Iye, yang kekeuh pengen kesini si do'i. Saya lihat vibe namanya aja, uda kayak maju mundur lho, pasti mihil-mihil harga makanannya. Sama mahalnya dengan harga makanan warung-warung Indo yang ada di Taipei Cecan 'pas weekend', wekekek. Kamipun akhirnya datang ke Sate House Taipei Taiwan pertengahan bulan Februari 2022.
Dimana lokasinya, Lis?
Sate House berada dekat dengan Liuzhangli MRT Station, sekitar 500meter jaraknya. Karena letaknya dipinggir jalan besar (kayak jalan provinsi--kalau di Indo), ostomastis harga sewa bangunan mahal (kecuali kalau fangtung rumahnya ya si pemilik resto--jadi ngga perlu biaya sewa). Positifnya, karena dipinggir jalan, restonya bisa 'langsung' dilihat dan ditemu orang sehingga kemungkinan pasti ramai pengunjung.
Kalau tidak salah melihat Sate House memakai tiga lantai, lantai satu dan lantai underground untuk ruang makan dan lantai dua untuk dapur. Karena ngga ingin repot angkat stroller, kami pilih duduk dilantai satu. Pada saat kami datang, pas lantai satu sudah penuh pengunjung. Beruntung masih dapat meja untuk berempat ya. Rombongan tamu yang datang setelah kami kebagian duduk dilantai bawah.
Suasananya bagaimana?
Satu kata : legendaris. Ornamen dan properti ruang lantai satu menunjukkan resto ini old namun punya gaya. Saat baru duduk, dimeja sudah tersedia sendok garpu sumpit yang beralaskan sebuah kertas bergambar patung wanita yang memakai pakaian adat (dengan segala kelengkapannya) dan bertuliskan 磐石坊印尼料理 Sate House Indonesia Cuisine.
Ketika masuk resto, mata sudah pasti langsung tertuju ke dua etalase (paling kiri dan paling kanan--dekat kasir). 'Ini resto Indonesia!', mungkin begitu kalau si Garuda bisa ngomong. Patung Garuda Pancasila yang diletakkan paling atas etalase sebelah kiri (sehingga terlihat hampir menyentuh langit-langit ruangan) seolah-olah menjadi raja dari semua properti keIndonesiaan diruangan ini. Dengan ratunya Patung Kapal Pinisi di etalase--meja kasir sebelah kanan ruangan.
Alunan instrumen gending jawa yang dipadu dengan gemericik air hujan dan suara burung yang diputar malam itu hmmm, kemudian dilanjut dengan suara seruling sunda yang mendayu-dayu, pikiran langsung melayang ke masa lalu saat diajak menginap disebuah hotel di Solo. Tak dibiarkan sepi, tembok ruanganpun berhias lukisan-lukisan yang saya kira pelukisnya bukan pelukis ecek ecek. Pernah ke The Consulate Surabaya yang ada di jalan Tegalsari? Vibe disini dan disana 11-12 lah, caputuo~.
Untuk pelayanan pun juara! Saat kami baru duduk, ownernya langsung yang datang ke meja kami dan mencatat pesanan. Suara beliau hampir mirip sama pakde saya (almarhum), lirih tapi mantabb. Mungkin jika masih hidup, usia pakde dan bapak owner hampir sama. Kemudian ada mas-mas (orang lokal) yang memberikan kami satu teko beling besar berisi air putih, dua gelas beling, satu gelas plastik dan satu mangkok plastik.
Makanannya enak?
Mari kita tilik atu-atu (makanan yang kami pesan ya). Kami pesan dua menu, dua macam nasi dan dua minuman.
Dua menu : Sate Kambing dan Sop Buntut.
Beraaat ya pesenannya haa. Karena sebenernya bosan juga lho gengs sehari-hari kami makannya ayam, ikan, daging sapi. Uda itu aja diputerputer tiap hari wkwk. Pilih yang halal dan affordable buat kantong mahasiswa hihi. Makanya, pas makan di luar, saya berpesan sama mas husband dan #SingkekKriwul buat pilih menu makan yang engga bisa ato yang engga pernah saya masak.
Sate kambing pesenan mas husband dan Sop buntut pesenan saya. Saya bilang dua menu ini cukup enak, namun mas husband kebalikannya. Menurut do'i, mungkin target pasar Sate House untuk masyarakat lokal sehingga cita rasa yang disuguhkan ya sesuai dengan lidah warga lokal. Even sate kambingnya enak ngga bau prengus mbek tapi bumbu satenya kurang nonjok di lidah warga Indonesia apalagi orang Madura kayak do'i. Rasa-rasanya lidah do'i masih berunsur lidah Indonesia ya, beda lagi lidah saya yang sudah membaur sama lidah lokal.
Kalau dipikir lagi, ada benarnya, ekspektasi saya udah kebayang Sop buntut yang pernah saya rasakan di resto mini punya teman bude (asli Solo) di dekat bandara Halim Perdana di Jakarta, karena saya rasa kelasnya sama. Saat dirasakan, yaa hmmm, beda uhuhuhu. But... Saya suka penyajiannya : mewah. Agar terjaga panas sop buntutnya, diberikan pula kompor mini berbahan bakar parafin.
Dua macam nasi : Nasi Kuning dan Nasi Putih.
Mas husband teramat sangat kecewa dengan nasi kuning yang do'i pesan : masih keras dan ngga wangi. Masih enakan nasi kuning bikinan saya katanya (ya iyyalllaahhh-pake melet ngomongnya, saya bikinnya pakai cinta wekekek). Untuk nasi putihnya lumayan katanya, alhasil nasi putihnya yang do'i makan. Karena saya sayang ada makanan (bayar pula) dibuang, nasi kuning hanya bisa saya makan separoh dengan bantuan kuah panas sop buntut. Eiya, nasi putihnya mirip seperti nasi ketan, lengket dan berasa ada manisnya.
Dua macam minuman : Es Kuah Atap dan Es Kelapa Muda.
Udah ini mah juaranya dari semua menu yang dipesan. Segar dan dingin. Cuma kurangnya satu : kurang banyak porsinya waaa~ (dilempar patung garuda ntar saya). Ada yang penasaran Es Kuah Atap itu apa? Rupanya es kuah atap adalah nama lain dari es kolang-kaling.
Harganya?
Sebelum buka menunya, saya baca basmalah dulu, biar angka NT didalamnya ngga bikin silau mata hehe.
Duo menu minuman dibanderol harga masing-masing 80NT. Untuk nasi kuning 35NT dan nasi putih 25NT. Sate kambing 240NT dan sop buntut 350NT. Total untuk makan bertiga 810NT, lumayanlah...
Kesimpulannya?
Saya mau tulis kesimpulan, lalu teringat perbincangan dengan teman melalui telepon keesokan harinya dari Sate House.
R : Yok opo mas Sate House?
A : Lho kok ngerti kalau abis dari Sate House?
R : (ngekek) Enak ora?
A : B ae mas.
L : (aku setengah teriak) Masih enakan masakanku masss
R : (tambah ngekek) Pesen opo ra enak? wes coba Ayam Kalasan ee?
A : Engga pesen ayam kalasan aku,, moso enak?
R : Ayok mrunu maneh nyoba ayam kalasan ee.
A : Ayok wes kapan-kapan yoo
Kesimpulannya saya ngga berani nge-klaim ngga enak hanya karena beberapa makanan yang kami pesan. Mungkin saat kami datang kena apes makanannya kurang memanjakan lidah. Pun juga mereka banyak pengunjungnya, walau kelihatannya kebanyakan warga lokal yang datang. O iya, menjadi nilai plus tersendiri nih, saya melihat ada sertifikat halal terpampang di dinding Sate House. Sayang saya tak sempat mengabadikannya, tengsin daritadi jepret jepret melulu.
Memang susah susah gampang menemukan restoran yang mengusung menu Indonesia "yang" memiliki cita rasa khas Indonesia karena sejatinya bumbu rempah yang ada di Taiwan tak selengkap bumbu rempah yang tumbuh di Indonesia.
Berbahagialah orang Indonesia yang tinggal bertabur segala kenikmatan sumber daya alamnya.