Bertemu Tiga Orang Unik Pasca Pulang ke Indonesia

 

Jadi begini tho, rasanya hidup di Indonesia pasca menikah dan berkeluarga.

Lima tahun merasakan survive dan menjalani hidup berkeluarga di Taiwan ternyata tidak seluar biasa hidup di Indonesia. Terutama saat berinteraksi dengan orang-orang yang belum dikenal utowo orang asing ya. Ternyata, sejauh ini yang saya rasakan, lebih sreg untuk percaya orang asing saat di Taiwan daripada di Indonesia. Seperti ada salah satu contoh begini, kami sedang mencari alamat teman kemudian bertanya pada seorang warga lokal Taiwan, kami pilih yang usianya sebaya agar bisa berkomunikasi dengan lancar (kebanyakan orang lokal Taiwan tidak bisa berbahasa Inggris kecuali anak muda yang kuliah). Oleh dia kami diantar hingga sampai ke tempat tujuan walaupun arahnya menjauh dari tujuan dia. Setelah sampai kami langsung mengucapkan terima kasih dan tanpa babibu (hanya tersenyum mengangguk) dia meninggalkan kami. See, culture mereka itu serba cepat dan ngga pamrih ya. Walau mereka terlihat cuek dan apatis, tapi saat diminta tolong, tanpa bertele-tele mereka membantu secara totalitas.



Lain hal pengalaman dengan warga +62 di negeriku tercinta ini. Jujur kacang ijo, saat sebelum menikah, saya itu kutu buku, dunianya hanya sekolah kuliah dan kegiatan yang ada didalamnya. Pengalaman berhadapan dengan orang yang diluar kegiatan perkuliahan itu sedikit banget. Maka saya bersyukur banget menikah dengan sahabat sesama kutu buku yang pengalaman leadership nya banyak kek mas husband. Kami bersama-sama menghadapi orang unik yang bikin hidup kami di Indonesia jadi luarrr biassaa. Langsung saja ya saya jabarkan tiga hal yang menurut saya hidup di Indonesia itu luarrr biaszaa. #SruputTehDulu.

~oOo~


Pertama, pemilik rumah yang 'unik'.

Sepulang dari Taiwan, kami tidak menetap di Surabaya atau Kamal melainkan lanjut merantau ke Yogyakarta. Berbekal tabungan yang menipis disertai bantuan dari ketiga orang tua (yang menurut saya powerful banget--alhamdulillah ya Allah), kami melanjutkan hidup disana jadi pengajar dan kontraktor (pengontrak rumah maksudnya). Singkat cerita mas husband menemukan rumah yang layak untuk dihuni kami keluarga besar.

Awal bertemu dengan pemilik rumah sampai terciptanya deal mengontrak rumah, masih terasa baik-baik saja. Hingga kemudian kami menemukan banyak hal yang 'unik' yang berhubungan dengan rumah yang saat ini kami tinggali.

Seiring dengan berjalannya waktu, kami kenal akrab dengan warga paguyuban perumahan dan tetangga. Bahkan ketika Bapak mertua datang, beliau sudah memiliki 'bestie' di dalam dan luar perumahan, beliau gokil emang. Bertambahnya teman, bertambah pula informasi mengenai rumah yang kami huni. Seperti sewa rumah yang 'terlampau mahal' walau sudah termasuk se 'isi' rumahnya, kalau dijualpun harga yang ditawarkan kurang masuk akal karena tidak sesuai dengan pasar rumah sekitar sini, perumahan yang mati karena developer yang nakal, dan informasi-informasi lainnya. Kami tampung semuanya.

Sudah dapat informasi yang seperti itu, dikerjain pula sama pemilik rumah. Baru dua bulan kami mengontrak dan terbayar sudah sewa kontraknya, datang seorang makelar dan calon pembeli rumah (yang kami tempati) mengetok pagar rumah dan berniat melihat isi rumah. Katanya sudah mendapat ijin dari pemilik rumah dan memang paginya bapak pemilik rumah menelepon mas husband tentang mereka.

Tapi koq dirasa kurang sopan ya, apa hanya kami yang sensitif. Apa iya, di Indonesia culture sewa-menyewa rumah seperti ini? Kecuali kalau kami ngga bayar uang sewa sih, pemilik rumah berhak 'otak-atik rumahnya'. Lha kalau sudah bayar, ya masa' ngga jaga privasi penghuninya. Karena di Taipei-Taiwan, sang pemilik rumah sangat sangat menjaga privasi orang yang menyewa sebab sudah menerima uang sewa. Bahkan pemilik rumah bersedia membantu hingga terselesaikan urusannya jikalau rumah dan propertinya ada masalah. Ini lho yang paling saya suka sama orang Taiwan, mereka peduli dan bertanggung jawab. Saya jadi hafal betul sikap fangtung-fangtung (pemilik rumah), karena kami punya pengalaman tiga kali pindah rumah (bukan bermasalah dengan fangtungnya melainkan karena tuntutan pekerjaan).

Kesampingkan saja masalah tadi. Kini beralih ke properti yang ada di dalam rumah. Mas husband tuh orangnya serba cepat, seringnya kalau dia merasa sreg langsung melakukan kesepakatan tanpa mikir dua kali dan tanpa ditilik lebih dalam kesepakatan tersebut, seperti kasus rumah yang kami tinggali. Terkaget-kaget pula ketika do'i bercerita beberapa kekurangan rumah dan propertinya, lebih terkaget-kaget lagi sayanya saat masuk dan tinggal didalamnya.

Benar rumahnya bagus luas dan kata pemilik rumah ini baru direnovasi karena niatan awalnya mau ditempatin sendiri (namun rupanya tidak jadi karena memberatkan usahanya yang ada ditengah kota dan berujung rumah ini disewakan dan atau dijual). Kami pun bisa merasakan tiga tempat tidur baru dimasing-masing kamar dan rumah yang sudah lengkap dengan AC (dalam kamar) dan pagar penuh depan rumah.

TAPI pintu-pintu kamar dan kamar mandi yang tak bisa ditutup dari dalam dan luar (setelah diperbaiki bapak mertua pintu kamar dan kamar mandi luar bisa ditutup dari dalam), jendela kamar anak yang tak bisa dikunci dari dalam walau sudah dipasang tralis besi tapi agak rawan kalau tertiup angin jendela bisa terbuka hewan-hewan kapan saja bisa masuk kamar (setelah diperbaiki bapak mertua jendela bisa ditutup dari dalam), kulkasnya tidak berfungsi sepenuhnya (45% boros listrik karena pintu kulkas sudah downgrade--mau beli baru tapi bingung mau taruh mana kulkas lama ini), mesin cuci yang bermasalah di penyaringan (mas husband membersihkan dan mengganti sparepart nya pakai uang pribadi agar bisa dipakai), kompor juga bermasalah (diregulator LPGnya, lagi-lagi kami ganti pakai uang pribadi), dispenser yang teramat sangat kotor bagian dalamnya (kami ga mau pakai karena ga bisa dijangkau bagian kotornya--harus dibongkar dispensernya dibersihkan atau diganti sparepartnya--kan capek gitu), TV masih tabung dan tidak terhubung internet (harus beli STPbox dan pasang jaringan kabel--pakai uang sendiri), AC kotor (baru-baru ini dibersihkan setelah dapat informasi jasa pembersih AC dekat rumah), ventilasi dinding kasa yang teramat kotor (lagi-lagi mas husband mengganti dengan yang baru), lampu dapur yang instalasi listriknya bermasalah--menyebabkan semalaman tanpa cahaya akibat listrik rumah yang njeglek (rumah kembali terang keesokan sorenya setelah mas husband ganti semua instalasinya), rumah bocor dibagian dapur-jemuran sampai ke ruang tengah saat hujan, dan yang terakhir paling menyebalkan AIR PDAM yang katanya ngga pernah mati ternyata masya allah ya selalu ada agenda mati setiap hari.

Lalu catatannya kami bayar mahal rumah se-propertinya kayak meifanpa gitu ya. Kami engga bisa menikmati propertinya. Apalagi ketika bilang ke pemilik rumah, eh malah dibalikin ke kita masalahnya. Jadi #PercumaLapor kan.


Kedua, bos yang 'unik'.

Alasan utama kami pulang ke Indonesia (walau dengan tabungan yang teramat tifis) karena harga yang ditawarkan mengajar di salah satu kampus elite Yogyakarta oleh beliau yang saya sebut 'bos'. Sebut saja harga tersebut establishment yang didapat karena mas husband lulusan luar negeri. Dengan establishment yang ditawarkan tersebut kami berencana sewa atau beli rumah dan menguatkan kaki kami kami untuk melanjutkan hidup di Indonesia.

Satu semester pun berlalu, tak ada kabar mengenai establishment. Mas husband sangat elegan, enggan menagih karena memang itu bukan hutang. Nanti kayak kita terlihat ngga ada syukurnya, padahal teman sejawatnya bilang kalau itu hak yang wajib ditagih. Karena didorong dan didukung sama temannya tersebut, mas husband membulatkan tekad untuk bertanya (karena bestie nya ini sengaja menghubungi pak rektor menanyakan tentang case mas husband--berujung mas husband dipanggil menghadap pak rektor di ruangannya saat weekend).

Kampus tempat mas husband mengajar sangat bagus karena didalamnya dijalankan oleh sistem yang tertata apik. Dosen sudah diset sistem untuk dikawal, diatur sampai jadi profesor dan ngga semua kampus seperti ini. "Kamu perform, kamu berprestasi, maka kami akan hargai lebih", begitulah menurut mas husband.

Cuman ternyata masalah establishment ini saja yang agak missed informasi si bos unik ini, beliau tidak mengetahui perubahan surat keputusan mengenai establishment yang rupanya sudah dihentikan sejak tahun 2019. Mas husband menganggap ini wajar, karena urusan si bos yang banyak dan beliau yang serba cepat dan cekatan dalam mengerjakan urusannya. Urusan ini berakhir setelah pak rektor memberikan solusi pada mas husband. Semoga mas husband saja yaa yang diberi tau oleh bos yang unik ini, jangan ada lagi dosen muda lain yang berakhir salah paham begini.


Ketiga, penyewa rumah yang 'unik'.

Sang ibunda (ibu saya) yang kini kerap berada di Yogyakarta untuk menilik cucu-cucunya agak prihatin sama rumah yang kami tinggali karena kekurangannya. Beliau jadi bercerita tentang rumahnya yang sedang disewakan ke orang. Rumah tersebut disewa oleh seorang perempuan yang mengaku sebagai guru ngaji dan suaminya yang bekerja sebagai montir mobil.

Empat tahun lamanya Ibu belum pernah melihat rumah yang disewakan sejak suami istri tersebut awal menyewa, lalu saat awal bulan September kemarin beliau menilik rumah terkaget-kaget dibuatnya. Struktur bangunan depan rumah berubah dan jadi paling jelek diantara rumah-rumah tetangga karena rumah tersebut dijadikan bengkel. Itupun penyewa tidak ijin dulu ke Ibu dan tidak tertuang dalam perjanjian sewa.

Mereka membayar uang sewa pertahunnya, hanya diawal perjanjian saja membayar 2tahun sekaligus. Ibu menaikkan harga sewa setiap mereka membayar, mengikuti kenaikan harga tanah dan rumah disekitarnya. Karena mereka membayar pertahun, jadi pertahunnya ada kenaikan harga sewa rumah. Tahun lalu mereka membayar dengan harga lama, saat itu ditanya karena membawa uang pas dan mereka bilang sisanya akan dibayar tahun depan. Saat bulan jatuh tempo pembayaran, Ibu menelepon mereka mengingatkan saat membayar nanti untuk membayar kenaikan sewa tahun lalu. Si guru ngaji tersebut sempat menolak karena menurut dia diperjanjian pembayarannya dilakukan dua tahun sekali. Ibu menjawab, perjanjian memang begitu, namun karena mereka membayar setahun sekali maka kenaikan harga sewa akan dilakukan mengikuti pembayaran. Suaminya mengiyakan kata Ibu hingga si istri tersebut juga sepakat. Saat mereka datang ke rumah, kebetulan Ibu sedang berada di Yogyakarta, uang sewa akan diterima adik saya. Setelah mereka pulang, adik saya chat Ibu dan berkata, "Yang perempuan bilang kalau 'Ibu' ngga ngomong apa-apa dan hanya membayar uang sewa plus kenaikan yang tahun ini". Kami terheran-heran dikira kami sekeluarga ngga berkoordinasi atau bagaimana.

Dalam hati saya batin, koq bisa ada manusia seperti itu. Ibu saya legowo karena rumah ditungguin orang yang mengaku guru ngaji walau rumah jadi ringsek karena berubah wujud jadi bengkel. Tapi hati kecil saya menilai mereka sudah melakukan tiga kenakalan : tidak ijin mengubah struktur bangunan depan rumah, berbohong ke adik kalau Ibu tidak bilang apa-apa dan tidak membayar sisa kekurangan tahun lalu seperti yang mereka janjikan. Ada saran harus diapakan orang seperti ini?


~oOo~


Hidup di Indonesia luarrr biasszaa kan Lis?

Sebenarnya masih ada beberapa orang unik yang saya temui, kalau saya ceritakan nantinya malah jadi seperti menjelek-jelekkan orang ya. Jangan deh kalau gitu. Uda cukup tiga orang diatas aza yang diceritakan hihihi.

Di Indonesia orang pintar itu melimpah, namun untuk orang jujur 'tidak nakal' dan tulus itu sangat jarang ditemui. Rejekinya saya, berkeluarga dan bersosialisasi saat pulang ke Indonesia justru bertemu dengan orang yang 'unik'.