Cerita Mendebarkan : Bumil Naik Pesawat (?)

Hamil pertama buat saya adalah hal yang sangat menyenangkan, memang tidak sama saat seperti masih gadis dulu yaa -- loncat sana loncat sini lari sana lari sini -- karena memang badan masih single. Yang bikin hamil jadi menyenangkan adalah saya tidak mendapati diri ini berkeluh apa-apa, tidak rewel apa-apa, makanan pun alhamdulillah semua bisa masuk tanpa tebang pilih, pekerjaan rumah juga bisa dikerjakan dan selesainya ontime, dan yang paling alhamdulillah lagi -- saya bisa jalan kemanapun saya suka.



Naik becak saat hamil? Ngga masalah.
Naik delman pas hamil? Pernah dua kali.
Naik motor? Sering.
Naik mobil? Ya sudah jangan ditanya.
Naik kereta? Nyenengin banget!
Naik pesawat? Nggg... Ini baru pertama kalinya buat saya naik pesawat saat hamil.

Ceritanya, saya dan mas husband sama-sama memiliki urusan di Jakarta dan mengharuskan kami untuk stay selama empat hari empat malam disana. Bersyukuuur sekali saya, kakbay (kakak bayi -- julukan dari saya dan mas husband untuk yang di perut) bisa diajak kerja sama. Trims yaa kakbay.

Kata saudara-saudara memang jarang-jarang ada bumil yang tidak rewel selama kehamilan, istilahnya karena bawaan bayi. Tapi ya itu tadi, saya suka mensugesti diri dan membisikkan kata-kata lembut sambil elus-elus perut, semua kalimat yang positif, dan membuat diri menjadi happy agar kakbay di perut juga ikut happy. Alhamdulillaaahh jika kakbay mendengar suara ibunya dan menuruti ibunya. Semoga kamu sehat sampai lahir didunia ya kakbay.. Aamiin.

Kami berangkat ke Jakarta naik kereta dan pulang ke Surabaya naik pesawat, semua mas husband yang nge-handle.

Setelah semua tiket dipesan dan dibayar, teringatlah saya akan judul artikel yang pernah saya baca sekilas saat masih gadis (karena merasa masih gadis, jadi saya rasa belum cukup ingin tahunya tentang seputar kehamilan), bahwa tidak semua ibu hamil diperbolehkan naik pesawat. Ditambah lagi setelah berbincang dengan kakak sepupu, beliau mewanti-wanti agar berkonsultasi pada dokter lebih dulu (boleh tidaknya naik pesawat) sebelum berangkat, kalau engga dilakukan ngga bole berangkat.

Lah piye.. Tiket sudah dipesan -- berangkat weekend, sementara dokter kandungan yang tau riwayat saya hanya bisa ditemui saat weekend. Kami mencari kartu nama dokternya, tapi ngga ketemu-ketemu. Kemudian mas husband berusaha untuk meminta nomor dokter pada rumah sakit, tapi pihak rumah sakit tidak memberi tahu (alasannya ngga boleh).

Jadi bagaimana? Bismillah, kami bondo nekat, pulang pergi seperti yang direncanakan.


Sabtu..

Minggu..


Senin..


Selasa..



Hari pulang sudah tiba.

Dari Town House Villa Pejaten, kami menuju bandara Sukarno-Hatta menggunakan bus kota bandara tiga jam lebih awal dari keberangkatan pesawat.

Check in online di terminal 1C tak masalah. Melewati screening barang-barang pun tak ada masalah. Melewati screening kedua pun juga tak ada masalah. Setelah pintu garbarata dibuka dan penumpang Citilink QG-803 dipersilahkan masuk, kami pun ikut mengantri masuk pesawat.

Dua petugas Citilink memeriksa KTP dan tiket kami, awalnya kami diperbolehkan masuk. Beberapa detik kemudian salah satu mbak petugasnya bertanya dengan nada terdengar gawat, "Ibu, hamil ya?"

"Iya", jawab saya singkat nan santai.

"Ibu, ada surat dokternya?", tanyanya dengan nada gawat yang sama.

"Tidak ada surat dokter mbak..."

"Kemarin kami sudah konsultasi dengan dokter, dokternya mengijinkan secara lisan, jadi tidak perlu surat katanya", sela mas husband.

"..iya tapi sesuai dengan prosedur maskapai pak, ibu hamil diwajibkan membawa surat keterangan terbang dari dokter..."

"Kak, kak, tolong kak, ini ada ibu hamil. Ini KTP dan tiketnya, ini punya suaminya...", kata mbak petugas pada mas petugas yang ada di sudut lorong.

Semua terjadi begitu cepat, membuat saya deg-degan dan tidak bisa berfikir cepat, takut tidak jadi berangkat. Mas husband yang maju berkoordinasi dengan mas petugas yang menjaga sudut lorong. Beberapa detik kemudian terdengar mas petugas berkata, "Ibu, pakai kursi roda saja biar cepat.. Barang-barangnya dititipkan disini saja..."

Loh loh,, mau dibawa kemana saya?

Saya dan mas husband mengikuti mas petugas. Kemudian dia (mas petugas) mengambil sebuah kursi roda, menuruni anak tangga, membuka kursi roda kemudian meminta saya untuk duduk di kursi roda tersebut.

Saya masih mampu berlari kok disuruh pakai kursi roda, batin saya saat itu. Tapi saya tetap menuruti mereka. Ben ndang mari urusane.

Mas husband meminta mas petugas untuk menunjukkan jalan, sementara mas husband yang mendorong kursi roda. Dengan setengah berlari mas petugas memimpin jalan, sementara mas husband pun mendorong kursi roda begitu cepat. Membuat suasana hati makin deg-degan. Saat itu saya jadi merasa kalau saya sakit, padahal aslinya sehat wal'afiat.

Langkah kaki mas petugas berhenti disebuah ruangan kecil yang agak penuh dengan orang. Seorang paruh baya yang sedang duduk diatas kursi roda -- sedang diperiksa oleh dokter, dua orang wanita berusia 45an duduk menunggu, seorang pria berusia 40an berdiri disamping wanita tadi, seorang pria dan seorang perawat berdiri disamping pintu, seorang pria berusia 45an berseragam militer duduk dekat dokter.

Apakah semua ini pasien? Kalau iya, berapa lama lagi giliran saya diperiksa? Masih bisa ngejar pesawat ngga ya?

Duhh pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi ruang kepala.

Dokter yang berusia 40an ini melihat saya dan mempersilahkan masuk. Kemudian seorang wanita yang duduk tadi meminta agar pria berseragam militer untuk memberikan tempat duduknya pada saya. Pria ini memberikan tempat duduknya pada saya.

"Mau terbang tapi tidak ada surat ya mbak?", tanya dokter.

"Memang tidak ada surat dok, tapi oleh dokter obgyn saya diijinkan naik pesawat secara lisan..."

"Menstruasi terakhir kapan mbak?", tanya dokter lagi sambil melihat komputer. Komputernya terpampang aplikasi mirip aplikasi hawa yang ada di handphone.

"Wahh,, saya lupa dok.. Sekitar satu bulan sebelum bulan puasa, barangkali, saya lupa-lupa ingat dok.."

"Lhoo, kok bisa lupa. Itu wajib diingat mbak.. Kalau prediksi kelahirannya kapan?", tanya beliau lagi sambil mencoret-coret sebuah kertas, prediksi saya surat inilah yang mampu meloloskan saya.

Surat Keterangan Kelaikan Terbang


"Awal Februari.."

"Baik, dicek tensi dulu yaa"

Saya mencari-cari mas husband, rupanya do'i sedang berkoordinasi dengan mas petugas yang tadi.

Usai ditensi, dokter memberikan surat jalan ke saya dan saya dipersilahkan untuk kembali ke pesawat. Mas husband masih menandatangani surat perjanjian dengan pihak maskapai, kemudian surat tersebut langsung diambil oleh mas petugas, tanpa sempat saya lihat isinya.

Kami bertiga keluar ruangan dan saya diminta untuk naik kursi roda lagi. Mas husband kembali mendorong kursi roda. Serasa romantis sih, tapiii naudzubillahmindzaliiik, semoga hal ini tak terjadi lagi.

Kami menuju ke pintu masuk, naik eskalator khusus difabel (omaigat... biar cepat kata mas petugas), kemudian melewati pintu screening yang kedua. Kami kembali diperiksa dan lolos cepat karena tidak membawa apa-apa.

Saya turun dari kursi roda mengambil barang lalu berjalan menuju garbarata. Mas petugas berbicara dengan mas husband kurang lebihnya bilang begini, "...kalau semisal ibu dan bapak ingin meminta surat dokter, nanti setelah landing bisa minta di petugas pesawat. Surat bisa digunakan untuk penerbangan berikutnya namun tak boleh lebih dari satu bulan dari sekarang..."

Fiuh,, alhamdulillah kapten pesawat masih bersedia menunggu kami.


Meskipun saya bisa lolos sejauh ini, tapi temans yang sedang hamil dan diharuskan naik pesawat tidak disarankan hanya bermodal bondo nekat seperti saya ya. Harus disiapkan dari awal, mulai dari perijinan dengan dokter kandungan; dengan dokter bandara dan petugas maskapai. Oh iya, selain juga membuat diri jadi happy, membawa barang favorit saat dalam pesawat juga bisa bikin relax saat kapten pilot bermanuver. Tau sendiri kan yaa, kadang kapten pilot itu ngga peka dan paham perasaannya ibu hamil...hehehe.

Hei! Orang Jawa, Madura, dan Papua Ada di Surabaya

Terngiang dengan rajukan adik ipar pada mas husband dengan bahasa Madura, yang di translate kembali sama mas husband kurang lebih artinya begini : "...cacak sudah ada mbak Lisa, ngga pernah ngajak jalan-jalan aku..."


Sempat ada perasaan bersalah, dan saya cari-cari kesalahan saya itu namun tidak menemukannya. Saya mengerti perasaannya dan sempat cemburu juga karena adik saya tidak pernah merajuk seperti itu wkwkwk. Ya jelas lah Lis, adikmu wes gede -___-. Usia memang kadang berbanding lurus dengan kematangan diri.


~oOo~


Chandra, sepupu mas husband yang berdomisili di Papua (lahir di Lamongan -- besar di Papua) sudah hampir satu bulan berada di Jawa, tepatnya di Lamongan dan Kamal. Kebetulan awal September ini dia lagi menghabiskan waktu liburannya di Kamal. Sebentar saja saya dan dia langsung akrab, anaknya memang bisa mengakrabkan diri dengan siapapun, apalagi kalau ada dia di rumah Kamal, rumah ngga pernah sepi.

Terbesit di pikiran, mumpung weekend ini mas husband dan saya pulang ke Surabaya tapi belum ada rencana kemana-mana, bagaimana kalau kami jalan-jalan di Surabaya. Kami siapa? Mas husband, Saya, Diyah dan Chandra.

Daaan,, sipp juosh! Mas husband menyetujui ide saya.



9 September 2017, pukul sebelas siang, Diyah dan Chandra sudah sampai di Pelabuhan Perak. Datangnya kapal feri yang mengantar penumpang dari Perak ke Kamal memang susah diprediksi. Semakin sedikit kapal yang beroperasi, semakin lama waktu menunggu datangnya kapal. Mungkin itu yang jadi kendala terlambatnya mereka. Mas husband dan saya langsung menjemput mereka dan mengajak ke Jembatan Merah Plaza (JMP) untuk ishoma lebih dulu.

Chandra request ingin mengunjungi tempat yang ada lampu PJR dan tempat duduk ditepi jalan. Menurutnya, tempat yang seperti itu bagus untuk dijadikan spot foto. Kalau menurut saya, di Surabaya buanyaaakk tempat yang seperti itu, tinggal pilih mau dimana. Surabaya Timur, Surabaya Barat, Selatan, Utara, Tengah? Mas husband langsung mematahkan, do'i memutuskan agar jalan-jalannya di Surabaya Utara saja. Ottrrree. Jembatan Merah Plaza pun juga ada lampu PJR dan tempat duduknya.

Setelah makan siang dan sholat di JMP, kami berjalan ke Taman Sejarah yang letaknya didepan JMP. Panasnya matahari Surabaya sempat membuat bumil ini nggeliyengan karena serangan migrain mendadak~. Tahanlah, tahanlah Lis, masih baru jalan sebentar~ fiuhh. Matahari, boleh ngga sinarnya diredupin dikit .-.


Teriknya matahari dan bisingnya suara kendaraan yang lewat, tak menyurutkan semangat berfoto, dua anak ini : Diyah dan Chandra. Berbagai sudut dari trotoar Taman Sejarah jadi target untuk berfoto. Mas husband bergumam, "Yo ngene iki, orang Madura dan orang Papua yang menginjakkan kaki ke Surabaya...". Haishh~.

Terciduk

Masih ada dua tempat lagi yang akan dikunjungi, kali ini mas husband dan saya memiliki itinerary perjalanan -- baru diputuskan saat berada di atas motor -- akan menjemput mereka di pelabuhan. Dan susyaah sekali menarik mereka berdua untuk move ke tempat berikutnya. Tak henti-hentinya mereka berfoto~.

Menunggu...

Lanjut ajah ke lokasi yang kedua : House of Sampoerna (HOS), surganya penggila foto heritage. Boleh dikatakan sudah berulang kali mas husband dan saya pergi kesini, sedikit bosan memang, hampir semua informasi sudah dibaca, dan tidak ada perubahan yang kentara dari letak atau susunan benda kunonya. Berbeda dengan Diyah dan Chandra, mereka baru pertama kali kesini, jadi boleh saya katakan : waktu mengabadikan moment lagi milik kalian~

Kami berdua punya waktu buat kentjan dehh, ahieuww.

Kita alay, kita alay .-.

Sebagai perempuan yang perutnya full (baca : ada kakak bayinya), saya mudah sekali ingin ke kamar mandi. Sempat kesulitan ketika di gedung utama HOS memiliki kamar mandi yang bagus, namun kamar mandi tersebut dibuat kering (tidak ada air untuk membersihkan dubur). Jelas ini sangat tidak nyaman, apalagi untuk sebagian orang yang ingin menjaga kesucian. Termasuk saya, risih gitu rasanya kalau buang air kecil ngga pake air. Lalu saya teringat di bagian gedung lain HOS terdapat kamar mandi lain dekat dengan mushola. Kemudian saya dan mas husband menuju tempat tersebut untuk menunaikan hajat masing-masing (yaaawwnnn hehehe).

Saya keluar kamar mandi lebih dulu, do'i masih ngendon di dalem. Pas saya hubungi, eeehh, ternyata do'i buang hajat besar wakakakakk. Iya deh, puas-puasin mas.. Adik tunggu ko.. xD

Sementara itu... Diyah dan Chandra masih asyik bernarsis ria dengan kamera mereka.


Kalau dilihat-lihat, dirasa-rasa, diterawang-terawang #lho. House of Sampoerna dari pertama kali saya berkunjung (sekitar tahun 2010) hingga kini, pengunjungnya terlihat meningkat pesat. Dari pengunjung lokal hingga turis mancanegara, dari yang anak sekolah hingga yang lanjut usia, semuanya datang untuk menikmati tempat ini. Namun jika ditilik lebih seksama, ada perbedaan yang mencolok dari tujuan datangnya mereka.

Sering saya dihadapkan oleh pengunjung yang memiliki dua kebiasaan yang berbeda 180 derajat, dan hari ini bisa nampak jelas perbedaan tersebut. Saya duduk, mengamati, dan mencuri dengar. Beberapa turis mancanegara (berumur sekitar 40 hingga 50-an) yang datang menikmati wisata terlihat begitu cermat membaca papan informasi, memperhatikan benda-benda kuno, berdiskusi dengan sudut pandang mereka tentang arsitektur gedung, dan mengabadikan segala macam ke-kuno-an tempat ini dalam single objek yakni benda itu sendiri.

Sementara itu, diseberangnya, terdapat sekumpulan turis lokal -- anak ABG atau mungkin bisa disebut dengan anak kekinian -- yang datang bergerumbul, sedikit membuat gaduh dengan candaan mereka, tentunya tidak terlihat respect terhadap informasi heritage yang disediakan tempat ini, kemudian berbaris bergantian berfoto dengan gaya kekiniannya, kemudian pergi mencari spot lain yang sekiranya bisa membuat mereka jadi hits.

Pemandangan yang... Entahlah. Tahun ini perbedaan tersebut terasa begitu mencolok, dibanding dua tahun yang lalu ketika saya berkunjung kemari. Apakah yang ada dipikiran anak Indonesia jaman now hanyalah menaikkan rating ke-famous-an nya, ketimbang menambah informasi tentang sejarah negaranya?. Oh... Rumit.


Anyway, waktu ashar kian dekat. Mas husband dan saya mendapat tempat duduk di taman tengah (lokasinya diantara gedung utama dan galeri). Kemudian Diyah dan Chandra menyusul kami. Mas husband memberi saran agar sholat ashar disini saja, diawal waktu, kemudian setelahnya bisa cuss ke tempat jalan-jalan berikutnya. OKE!

Sholat ashar berjamaah, ini yang saya tunggu. Kami berempat menjadi makmum dan orang lain yang menjadi imam. Usai sholat, kami bergegas ke lokasi yang ke tiga : Surabaya North Quay atau yang biasa disingkat SNQ, bukan SNSD lho ya.

Akhirnya kami (mas husband dan saya) sampai kesini juga. Sebelumnya, kami hanya sampai di pintu parkir mobil -- bertanya pada pak petugas parkir -- kemudian pulang dengan tangan hampa karena kami datang terlalu pagi, saat itu alih-alih kapok, kami tidak lagi datang kemari. Ehh, rupanya kami masih berkesempatan datang dan menikmati wisata baru di Surabaya ini.

Mas husband berkata pada Chandra, "...sekitar satu dekade yang lalu, kami (keluarga Bapak Ari) ngantar bapakmu ke Papua dari sini can. Dulu, tempat ini ngga sebagus sekarang..."

Sembari menggandeng tangan saya (jangan baper ah, maklumi tho, ibu hamil ini biar ngga nggelundung makanya digandeng), do'i mengajak masuk ke pintu SNQ, naik eskalator menuju lantai dua kemudian naik eskalator lagi menuju lantai tiga. Ornamen langit-langit ruang tunggu kapal ditambah properti yang disediakan memang memberi kesan mewah pada pengunjung.

"Ini pelabuhan apa bandara, kok mewah begini", celetuk Chandra.

Kami semua setuju dengan celetukannya, hanya saja kami memendam dalam diam, ahaiy.

Tapi beneran, ngga rugi kalau kalian datang kesini, baik hanya berwisata di SNQ nya, maupun yang sedang menunggu kapal. Aduh sayangnya saya tak sempat mengabadikannya, tangan saya sibuk digandeng mas husband sih... #laahh.

Ada sebuah kapal -- buessarr -- yang memuat penumpang dan barang dan bertuliskan "let's go to Banda Naira", berhenti tepat di SNQ. Entah kapal ini hanya transit atau memang awal perjalanannya dari Surabaya, tidak ada informasi yang jelas mengenai hal itu. Yang jelas kapal ini terlihat sangat sibuk.

Fanaaasshh pemirsaaahh~

Matahari sore yang membakar wajah-wajah, tak menyurutkan minat para pengunjung untuk memperhatikan pemandangan : sunset, kapal besar, dan laut. Tapi tidak dengan kami berempat (terutama mas husband). Do'i merasa matahari pukul empat ini masih membuat mata silau, kami kurang bisa menikmati pemandangan. Benar juga. Jadilah kami masuk kedalam foodcourt ruang tunggu, nongkrong sebentar, nyemil, mengabadikan momen, ngobrol dan nyemil lagi.



Tak terasa satu jam telah berlalu, camilan dan minuman segera kami habiskan, kemudian bergegas ke luar foodcourt untuk menikmati matahari tenggelam. Indahnya...


Beruntung saya dapat mengabadikan matahari tenggelam pakai Samsung Galaxy S7 Edge, ciamik soroo jehh.

Hari sudah menjelang maghrib, rona orange senja menghiasi langit-langit, dan angin pun sudah mulai tidak bersahabat. Uniknya, pengunjung mulai berdatangan dari berbagai arah untuk melihat pemandangan senja. Apa yang enak dilihat ya, kalau tidak ada matahari tenggelam rasanya ada yang kurang.

Kami berempat berpindah ke sisi barat SNQ. Ada tempat luas yang beralaskan rumput-rumputan berwarna hijau. Mungkin ini adalah tempat nongkrong yang letaknya outdoor. Selain alas rumput palsu, disini juga disediakan tempat duduk yang terbuat dari kain parasit yang berisi sesuatu yang empuk. Sayangnya kami tidak kebagian.

Chandra menyapa dua orang baru yang berasal dari Papua -- prediksi Chandra -- dan ternyata benar. Sementara dia ngobrol dengan kawan barunya, saya dan mas husband kentjan lagi..hehe (kentjan = foto berdua wkwkwk).

Mas.. Yak apa kalo nanti anakmu lihat fotomu ini wkwkwkwk

Adzan maghrib sudah selesai berkumandang. Dan kami bersiap untuk sholat maghrib di mushola kemudian pulang. Diyah dan Chandra akan menyeberang lewat Perak, sementara mas husband dan saya pulang ke rumah.

Saya berharap ada lagi waktu bermain seperti ini lagi, dengan saudara terutama. Semoga ada kesempatan.


~oOo~


Price List :
1. Parkir JMP : Rp 6.000,- / per motor
2. Gerbang Terminal : Rp 5.000,- / per motor
3. Parkir SNQ : Rp 3.000,- / motor

Happy Birthday Lisa | 2017

This is a post which very very late post. The half me said that I have to share this happiness to all of my blog reader, but the others said no. Long time I thinking about this, I decide to share this happiness. I just want to post my happiness, hope you enjoy it.



September 29th, 2017.

I'm very grateful for what I got until now. Age, maturity, family, a husband, a baby (still not launching yet), turtles, friends, presents. Alhamdulillah, big thanks to Allah SWT.

Honestly, when I face to face with my notebook, I do not have any idea to write, to post one article about my birthday in my blog. So, it might be a little bit awkward graffiti on your wall.

I'm very grateful my parents get healthy, my sister get her dream job.

I'm very grateful there are my best friends still around me, ready to catch me if I call someday.

I'm very grateful my turtles get bigger body and still love each others, oh it so romantic.

I'm very grateful I got birthday presents on this month (September) that I never thought or even dream to catch it.

Above all of that, I'm very grateful because I'm married and I get an active baby in my tummy. I already to be a wife and I will be a mom. It is so funtastic, amazing moment more than I imagine.

Thank you husband

I get a husband who can make my day like roller coaster. He leads me, he gives me some advice, he accompany me whenever I want to go, and he buys everything I need or I want. It is like I get another me, my mirror, my other half, my soulmate. I respect on him, I love him.



Also having a baby make me feel wonderful too. I enjoy becoming a mom. I try to keep my baby safe and comfortable in my tummy. I always eat so my baby can eat too. I also keep my mood on happy so my baby can feel my happiness too. I do my best for him/her, even actually I still confuse what I have to do to be a mom.



So, I do not have any reason to stop my grateful to Allah, because Allah always give what I need. Alhamdulillah...

I hope you all get everything you need. Always feeling grateful. Do not stop praying. And be your self.

Bye~

Day 3 - See You Again, Solo

Tibalah kami dihari terakhir di kota Solo.



Jadwal kepulangan kereta Argo Wilis eksekutif tepat pukul 16.51, dan check out hotel pada pukul 12.00. Jadi sebelum waktu tersebut, kami harus menghabiskan waktu dengan rencana berbelanja oleh-oleh. Mas husband langsung browsing dimana tempat yang tepat untuk berbelanja, request saya tempat yang murah dan berkualitas.

Selesai sarapan, kami bergegas keluar hotel. Do'i memanggil becak untuk mengantar kami ke Pasar Gede.

Pasar Gede? Perasaan saya jadi tidak enak.

Daaan,, wkwkwkwkwk,, benar saja. Do'i salah perkiraan. Do'i mengira kalau pasar gede ini juga menjual batik-batik asli Solo, karena saat tour dengan bus Werkudara kemarin kami melewati pasar ini dan mbak tour guide menjelaskan kalau pasar ini merupakan pasar satu-satunya yang masih kuno dan masih beroperasi hingga sekarang. Rupanya pasar gede hanya menjual buah dan sayuran serta bahan pokok lainnya... hahahaha.

Foto dulu, buat kenang-kenangan xixixixi

Dalam hati bingung mau ketawa cekikian atau harus merasa nelongso karena waktunya terbuang percuma. Tarik napas dalam-dalam, akhirnya saya bisa membuat hati jadi cool dan langsung nggandeng mesra tangan suami. Yuk jalan saja.

Disela perjalanan, do'i bertanya pada penduduk sekitar, jika mau membeli batik Solo disekitar sini harus kemana. Kami diarahkan ke Pusat Grosir Batik Solo dekat Galabo. Lho, itu kan dekat banget sama hotel tempat kami menginap. Akhirnya saya tak bisa tahan, saya ketawa cekikian sendiri. Do'i memutuskan tidak memanggil becak, kami berjalan kaki ke pusat grosir agar lebih hemat. Nelongso lah saya jadinya, capek, sumuk, panas matahari... Oh...

Tapi ya ngga apa, trotoar jalan Solo lebar dan masih bersih, enak kalau dibuat jalan. Kemudian kami melewati Balai Kota Surakarta, mampirlah kami kesana. Kebetulan ada acara di balai kota, nampaknya mahasiswa lah yang sedang punya gawe. Tak apa, kami hanya numpang foto, ke kamar mandi dan sholat dhuha.


Mengapa Balai Kota Surakarta? Mengapa bukan Balai Kota Solo? Atau Mengapa bukan Balai Kota Sala (mirip dengan prononsi kata noto)? Masih terkait dengan sejarah kota ini, silahkan browsing di mbah google. Penamaan ini juga bisa kita kaitkan dengan nama "Yogyakarta" yang terbiasa disebut orang "Jogja".

Apapun sebutannya, itu hanyalah sebuah nama. Jika lebih percaya apa kata dunia, boleh kita sebut Solo, karena nama tersebut sudah lebih mendunia ketimbang Sala maupun Surakarta. Atau sebutlah panggilan Surakarta karena terdengar lebih ke nuansa ke-kraton-an. Kalau saya lebih menyukai nama Sala karena identik dengan sejarahnya, yakni desa Sala yang bertempat di tepi sungai Bengawan.


Usai dari balai kota, kami melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi kami disuguhkan pemandangan bangunan tempo dulu yang di remake mengikuti style bangunan jaman now namun tidak menghilangkan unsur ke-tempoe doeloe-annya. Cantik-cantik bangunannya... Ini dia foto bangunan yang dapat saya abadikan dengan kamera smartphone.



Akhirnya, sampai juga di Pusat Grosir Solo, yang bersebelahan dengan Pasar Beteng Solo. Kami langsung masuk ke pasar dan berburu oleh-oleh. Setelah uang habis #ehh setelah selesai berbelanja, kami langsung cuss balik ke hotel, jalan kaki, lha wong hotelnya ada dibalik pasar hiks hiks hiks.

Rupanya waktu masih menunjukkan pukul sepuluh lebih seperempat (walau mataharinya terasa seperti sudah bertengger diatas kepala). Kami leyeh-leyeh di hotel, kemudian packing dan persiapan check out.

Mas husband dan saya masih terasa ada yang mengganjal. Ada dua destinasi di Solo yang kemarin tidak bisa dikunjungi, kami merasa sayang banget sudah ke Solo tapi melewatkan berkunjung ke dua tempat tersebut. Lalu kami berencana menghabiskan sisa waktu ke Masjid Ageng Surakarta untuk sholat dhuhur dan berkunjung singkat ke Kraton Surakarta setelah check out.

Bersyukur pihak hotel bersedia dititipi koper dan barang-barang kami, sementara kami pergi ke dua destinasi tersebut dengan berjalan kaki -- lebih dekat dan hemat.

Karena adzan dhuhur sudah berkumandang, kami memutuskan tujuan pertama kami adalah menuju Masjid Ageng Surakarta. Jika kemarin kami hanya bisa melihat halaman masjid, maka hari ini kami  harus bisa menikmati bersujud didalam masjid yang berarsitektur kuno ini.

Jika saya tidak salah, saya melihat masjid terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama adalah bagian inti, dimana tempat mimbar dan jamaah pria bisa melaksanakan sholat disana. Bagian kedua adalah sayap kanan bagian inti, tempat jama'ah pria mengambil wudhu. Bagian ketiga adalah sayap kiri bagian inti, yang dibagi lagi menjadi dua : kamar mandi plus tempat wudhu jama'ah wanita dan tempat sholat jama'ah wanita. Sementara bagian keempat adalah pelataran masjid.

Mas husband mengajak untuk sholat berjamaah di pelataran masjid. Alhamdulillah... Saya selalu lega bisa berjama'ah dengan do'i jika melaksanakan sholat ditempat umum. Beginilah foto dalam masjid yang diabadikan oleh mas husband.

Bagian inti (atas). Pelataran masjid (bawah).

Dari masjid, kami langsung bertolak ke Kraton Surakarta.

Pasar di pelataran kraton beroperasi kembali. Tergiur dengan aroma batagor siomay yang dijual dipelataran, alhasil kami duduk santai dulu dan mas husband membelikan satu porsi untuk berdua. Bukan biar berhemat, melainkan biar romantis, karena seringnya saya tidak bisa menghabiskan porsi makanan, dan sering pula mas husband yang menghabiskan, ngga heran, do'i yang sekarang terlihat jauuuhh lebih sehat daripada ketika bujang dulu kala xixixi.

Setelah selesai makan batagor siomay (yang nikmat buanget ini), kami lanjut masuk kedalam. Daaan singkat cerita : ZONK !. Kraton Surakarta belum boleh dikunjungi oleh wisatawan. Dari keterangan yang disampaikan pak satpam, sudah seminggu lebih kraton ditutup, karena didalamnya ada urusan kerajaan yang belum terselesaikan. Baiklah, kami pulang saja -- jalan kaki.

Teringat pesan Ibu saya dan Bude (kakak ipar Ibu) yang merupakan wanita Solo asli : kalau ke Sala tidak makan nasi liwet, rasanya ada yang kurang. Tercetuslah kami akan makan siang dengan menu nasi liwet. Kami harus menemukannya. Dan sepertinya saya kemarin melihat di perjalanan pulang dari kraton ke hotel, ada yang berjualan nasi liwet deh. Tapi kenapa hari ini kami menyusuri jalanan yang sama dengan berjalan kaki tidak menemukan warung nasi liwet tersebut. Hufth. Lagi-lagi zonk deh..

Kami mengambil koper dan barang-barang yang dititipkan di resepsionis hotel. Sambil menunggu taksi online tiba, mas husband browsing tempat nasi liwet khas Solo dan menemukan satu tempat : Nasi Liwet Bu Wongso di jalan Teuku Umar. Yes, kami kesana.

Pak supir taksi online datang kemudian mengantarkan kami ketempat yang kami minta. Namun setelah sampai ditempat, rupanya tempat makannya tutup. Ada kertas yang ditempel didepan pintu warungnya. Kertasnya berjudul Lelayu, dan berisi beberapa kalimat menggunakan Bahasa Jawa Krama Alus yang saya hanya sedikit mengerti arti katanya, sementara mas husband sama sekali tidak tau. Agar lebih yakin, saya bertanya pada pak supir dan beliau menjelaskan memang benar ada salah satu anggota keluarga Bu Wongso yang meninggal dunia.

Tarik napas panjang, lalu hembuskan. Hufftt, oke. Sembari mengecek smartphone nya, mas husband bertanya pada pak supir, dimana tempat makan nasi liwet dekat sini. Pak supir menjawab tidak ada, tapi didekat sini ada restoran yang memiliki menu khas Solo, barangkali kami menemukan nasi liwet disana. Baiklah, kami menuju ke restoran tersebut.

Rupanya restoran ini berdekatan dengan Night Market Mangkunegaran yang kemarin malam kami kunjungi. Dan kemarin malam saya mbatin : jangan kesini ah, makanannya mahal-mahal pasti, melihat arsitekturnya mewah nan kuno begini.. Eeeh, malah siang ini kami makan siang disini..wkwkwk.



Nama restorannya : Omah Sinten Heritage Hotel & Resto. Aduh, suasananya bikin saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Restoran bagian luar, yakni rumah joglonya, memiliki arsitektur bergaya kuno sehingga banyak dilirik oleh wisatawan asing. Kebetulan meja kami bersebelahan dengan meja pengunjung berkewarganegaraan Eropa (sepertinya -- jika dilihat dari postur dan gestur tubuhnya). Tak hanya wisatawan asing, penduduk lokal juga turut memilih makan siang disini. Tempat ini juga menyediakan tempat dan fasilitas untuk acara-acara seperti reuni, kumpulan famili, atau acara lainnya yang ingin mengusung tema heritage.

Menu yang disediakan memiliki harga yang tidak terlalu mahal, untuk sekelas restoran heritage, harga yang ditawarkan lebih murah. Dan jangan sekali-sekali dibandingkan dengan harga heritage di Surabaya ya... Jaaauuuuhhhh~. Sayangnya tidak ada nasi liwet di buku menunya...

Nasi + Tengkleng Kakap dan Teh Poci OmahSinten (atas). Nasi + Tumis Kangkung Ja'i (bawah).

Mas husband memilih menu Tengkleng Kakap (sudah termasuk nasi). Karena saya masih sariawan, saya hanya memesan Tumis Kangkung Ja'i (tanpa nasi) plus satu piring nasi. Untuk minumnya, kami memesan Teh Poci OmahSinten panas yang dikombinasi dengan gula batu. Bismillah.. Mari makan!

Alhamdulillah kenyang, dan nikmat, saking nikmatnya do'i embuh nasi lagi, hmmm. Kami membayar tidak sampai seratus ribu rupiah. Berikut perinciannya.
> Tengkleng Kakap (+nasi) : Rp 35.000,-
> Tumis Kangkung Ja'i : Rp 20.000,-
> Nasi Putih (2x) : Rp 12.000,-
> Teh Poci OmahSinten : Rp 17.000,-
> Pajak + Service : Rp 10.000,-
Total : Rp 94.000,-



Sambil menurunkan makanan diperut, sambil menunggu taksi online datang. Taksinya datang, kami langsung cuss ke Stasiun Solo Balapan.

Dengan berakhirnya perjalanan di Solo, berakhir pula cerita perjalanan honeymoon saya. Semoga berkenan dengan ceritanya dan sampai jumpa di perjalanan honeymoon saya yang lain #ehh hehehe.

Tha thaa~

Day 2 - 14 Jam di Jalanan Solo

Suami memang tak salah memesan hotel tempat menginap. Hotel Aziza Solo menjadi tempat kami bermalas-malasan menghabiskan waktu. Namanya juga honeymoon ^^. Pertama kali menginjakkan kaki di lobby hotel, saya sudah jatuh cinta sama klasnya. Begitu islami. Kemudian suasana restorannya juga terkesan sangat mewah untuk sekelas hotel bintang tiga ini. Duuuh keren.

Belum lagi sepanjang lorong hotel diputar lantunan ayat suci Al Qur'an setiap waktu. Konsep islaminya dapet banget. Pas masuk kamar, ahiew, cozy. Apalagi menginap sama suami,, ahieew.

Memang ada yang mengulas tentang kekurangan hotel ini di halaman google. Tapi aneh, saya merasakan hal yang berbeda. Tempat tidur nyaman, ruangan kamar cozy, lantunan ayat suci Al Qur'an tak pernah absen dari speaker lorong dan TV kamar, dalam kamar sudah disediakan sajadah dan Al Qur'an, kamar mandi sangat sangat bersih dan nyaman, ornamen dan lampu kamar pun mendukung untuk beristirahat. Saking mendukungnya, suami enggan pergi kemana-mana, maunya di kamar terus #ehh.

Tapi karena istrinya ini yang kakinya gatel pingin jalan-jalan, akhirnya suami dengan berat mengiyakan agenda jalan-jalan di hari kedua kami di Solo. Dan inilah 14 jam kami mengeksplor Solo.



07.05 - Yuk mulai hari dengan sarapan!

Sebelum memulai trip hari ini, kami sarapan dulu di restoran hotel. Kebetulan sarapan pagi sudah termasuk fasilitas dari paket kamar yang diambil, jadi tak perlu biaya tambahan deh *cewe mah selalu begini, suka hitung-hitung*.

Dan masakan hotel pun MANIS semua! Untung aja diri ini masih ada campuran lidah orang Malang dan lidah orang Surabaya, jadi ngga seberapa kaget sama masakannya. Beda lagi sama suami yang lidahnya 27 tahun terbiasa sama rasa pedas dan asin. Tapi alhamdulillah nya, suami ngga rewel, yang penting makan katanya wakakakakak, cowo yaa, mikirnya simpel.

Perut uda keisi full, kami siap jalan.


07.20 - Jalan ke... Entahlah

Selama travelling, kami memang suka begini, jalan tanpa itinerary dan menentukan destinasis ecara otodidak. Eksplor aja yang ada disini, cek hape untuk tambahan informasi, dan tinggal cus naik apa aja kendaraan yang lewat. 

Hape selalu dipegang suami, aplikasi maps terpampang dilayar utama. Keluar dari hotel, kami menuju arah Kraton Surakarta dengan berjalan kaki.

Tunggu sebentar, jalan kaki?

Iyaa jalan kaki!

Menyusuri rel kereta api dalam kota (Jaladara) melewati tempat kami makan semalaman : Galabo. Rupanya dekat banget sama hotel ya, tapi kenapa kemarin pas naik becak kayak jauh banget gitu jaraknya. Wahahaaii, sepertinya kemarin kami dikerjain sama pak becaknya, diputer-puter biar jauh jaraknya. Dari Galabo kami lanjut melewati Tugu Slamet Riyadi. Didekat tugu, ada papan bertuliskan Solo Destination beserta arah destinasi wisata plus jarak yang harus ditempuh, jadi in sya allah temans ndak bakal kesasar kalau ngikutin papan itu.

(a) Menyusuri rel kereta Jaladara. (b) Galabo. (c) Solo destination.

Melewati tugu, kami menuju ke selatan kota : Pasar Klewer Sementara, Masjid Ageng Surakarta dan Kraton Surakarta. Inilah inti kami datang ke Solo, ingin mengetahui sejarah kota Solo. Namun rupanya kami kurang beruntung berkunjung ke Solo minggu ini.

Di Pasar Klewer Sementara kami tidak menemukan apapun selain toko dan gerai yang tutup. Beberapa bapak becak yang duduk santai dibecaknya menyapa kami dan memberitahu kalau pasar klewer sementara sedang masa transisi ke Pasar Klewer yang baru diresmikan kemarin oleh Pak Jokowi. Di Kraton Surakarta pun terdapat beberapa penjagaan oleh polisi sehingga wisatawan tidak bisa masuk. Kata beberapa orang lokal, hari ini ada kegiatan di kraton, nama kegiatannya Jumenengan.

Walhasil kami hanya mampir ke Masjid Ageng Surakarta. Kebetulan juga belum waktu sholat dhuhur, jadi kami hanya mampir sebentar kemudian cuss ke destinasi berikutnya.

Capek? Jelas... Kecewa? Hmmm, yasudalah.

Kami melanjutkan jalan kaki sedikit ke arah utara, ke Pasar Klewer yang baru diresmikan. Kami masuk ke gedung baru tersebut dan menjelajah sampai ke lantai dua. Rupanya, tidak ada aktifitas disana. Kebanyakan toko masih tutup, hanya beberapa yang buka, dan beberapa orang membenahi tokonya. Apa karena masih kepagian, ato karena baru kemarin diresmikan? Ahh... Kami berdua duduk sebentar di parkiran. Kulo nuwun dulu sama pak satpamnya. Rasa capek pun mulai kerasa, suami juga uda mandi keringat karena mataharinya full bersinar di kota Solo.

(a) Gerbang pasar klewer sementara. (b) Masjid Ageng Surakarta. (c) Gerbang pasar klewer baru.

Ipad dan Sony beradu mencari destinasi tepat berikutnya. Sambil berbincang dengan pak satpam tentang kalau ke Solo itu enaknya kemana. Pak satpam menyarankan untuk ke Tawangmangu. Daaan, setelah membuka maps, keringat kami semakin mengucur, karena jarak menuju Tawangmangu hampir 40 kilo cyiiinn. Sangat keberatan, suami langsung memutuskan untuk ke Pura Mangkunegara saja.

Setelah pamitan sama pak satpam, kami menghampiri taksi yang sedang mangkal. Cuss deh ke Pura Mangkunegaran. Jaraknya ngga jauh sih, cuma sekitar dua kilo, tapi panasnya matahari ini lho yang bikin kami ngga kuat jalan.

FYI, di Solo kalau kita bepergian dengan taksi, baik taksi online maupun taksi lokal, kita harus siap merogoh kocek minimal Rp 25.000 sekali jalan. Ingat! Sekali jalan lho ya. Walaupun dekat cuma dua kilometerpun kami tetap bayar dua puluh lima rebu guys. Jadi, ini namanya kefefet, keluar duit segitu hanya untuk naik taksi sejauh dua kilo. Duuh duuh...

Sampai di Pura Mangkunegaran pun suasananya : sepi dan sunyi. Hanya ada penjaga dan beberapa remaja yang sedang bersekolah digedungnya. Owalah owalah.. Kesini kami ya cuma mampir liat-liat dan foto-foto.

Alhamdulillah ya, tinggi saya sama seperti tinggi pura

Keluar dari Pura Mangkunegaran, suami ngajak jalan ke arah timur, do'i mau kasih lihat namanya Hotel Kusuma Sahid Prince tempat dia pernah menginap dulu saat acara blogger. Lumayan juga jalan kaki dari Pura Mangkunegaran ke Hotel Kusuma Sahid Prince. Sempat ngga kuat sama panasnya matahari yang menyengat, kami masuk ke salah satu gang kemudian duduk tepat di badukan tembok rumah orang. Suami kembali browsing destinasi wisata mana lagi yang akan kami kunjungi setelah ini. Tercetuslah keinginan naik bus tingkat Werkudara untuk mengelilingi kota Solo. Suami langsung mendaftar ke CP pemesanan bus Werkudara melalui whatsapp dan kami mendapat tiket jam terakhir bus beroperasi hari ini, pukul 15.00.

Kami cuma numpang lewat depan Hotel Kusuma Sahid, ngga mampir-lha ngapain juga mampir. Tepat diseberang hotel, ada depot soto rempah (tidak sempat niteni nama depotnya, maafkan). Kami (terutama do'i) tertarik mampir karena pembelinya banyak. Pasti enak ini, pikir do'i.

Masuk, pesan dan duduk. Beberapa menit kemudian dua es teh manis datang, kemudian disusul satu mangkok besar soto rempah. Kami mengira sotonya asin dan enak bercampur rempah didalamnya. Eh lha dalah sotonya manis T_T. Lupa kalau di Solo makanannya didominasi rasa manis. Gusti Allah, hilang deh selera makan. Tapi do'i engga, dengan ditambah sambal akhirnya do'i menghabiskan sotonya. Iya, habisin deh bang, abisin semuanyah.

Soto rempah (manis)

Jalanan lagi rame banget, selain rombongan presiden yang menginap di Hotel Kusuma Sahid Prince ada juga rombongan moge yang baru dateng, berisik bangett ya! Terus ada rombongan apalagi tuh, bikin parkiran hotel jadi full. Tauk ah.

"...Maunya kemarin kita nginep situ, tapi pas saya telpon mau booking, eh ternyata uda full booked...", kata suami.

Usai bayar, kami cuss entah kemana, yang penting ke luar depot dulu. Nepi dipinggir jalan sambil menahan diri dari kepanasan, ngutak atik hape order taksi online, clingak clinguk kali ada taksi kosong yang lewat (tapi kebanyakan taksinya pada penuh). Baru deh, hampir setengah jam kami berdiri, ada taksi kosong lewat dan menepi. Alhamdulillah...


10.17 - Merasakan Mall nya Solo

Keringat kami mengucur saat berada dalam taksi, bukan karena AC taksinya mati, tapi karena efek abis makan lagi. Taksi ini akan membawa kami ke Solo Grand Mall sesuai request suami. Memang rencana kami akan ngadem sebentar di mall. Kami ngga bisa jauh-jauh dari mall sepertinya... Agenda kami hari ini memang ingin minum kopi starbak (kalau saya cuma numpang ngadem saja), tapi ga urgent juga sih. Ketika saya bertanya sama suami : emang disini ada starbak, mas?

Bapak supir taksi pun bersedia banting setir-bertolak dari Solo Grand Mall menuju Solo Paragon-padahal posisi kami hanya berjarak sejengkal dari parkir mobil.

Solo Paragon Mall

Oke, Solo Paragon menjadi destinasi kami menghabiskan siang dan uang. Ngendon di gerai kopi favorit do'i dari jam setengah sebelas sampai jam satu siang.

Cozy banget tempatnyaaa ^^

Saya merengek agar segera keluar dari gerai kopi ini, alesannya saya capek duduk terus, beda ama do'i, betah duduk berjam-jam sambil liat gadgetnyah.

Lalu kami pindah sholat di mushola mall, lumayan berjarak ya~. Lalu jalan-jalan muterin mall. Terakhir makan siang di gerai ayam fast food legendaris (baik rasanya sampai antriannya).

Lantaran saya khawatir akan terlambat ke tempat bus Werkudara diparkir (secara ya, ini kan bukan negara sendiri, tidak tau dijalan nanti ada apa, lalu sudah bayar pula tiket busnya-ini yang paling penting), maka sedari tadi saya ngobrak-ngobrak kangmas agar segera keluar mall.


13.40 - Naik Werkudara

Kangmas suami pun berkata : iya deh, yuk cyin.

Diantar taksi, kami cuss ke Kantor Dinas Perhubungan Pemerintahan Kota Solo, Jalan Menteri Supeno 7, Manahan, Solo.

Sampai ditempat, masih sepi dan busnya belum datang. Wajah suami ngeledekin saya tapi ditahan-tahan, rasanya pingin nggigit aja tuh pipi. Ya baik kembali ke cerita, kami berjalan ke resepsionis kantor dan konfirmasi tentang pemesanan tiket bus. Kami diberi dua tiket naik bus dan satu peta rute keliling bus.



Hampir dua jam kami menunggu dikarenakan busnya terlambat 45 menit, duh udah tuk ngantuk nih. Semula masih sepi pengunjung, beberapa menit sebelum bus datang langsung rame tempatnya. Anak kecil, ibu-ibu, kakek-kakek, semua ingin naik bus ini.

Harga tiket bus Rp 20.000,-/orang

Akhirnya, bus yang paling ditunggu pun datang. Dan beginilah antriannya...



Gerudukan, cermin budaya rakyat Indonesia yang suka buru-buru ingin mencoba sesuatu. Kalau dibahasa Jawa-in : kayak wedi gak keumanan. Hmmm. Beberapa pengunjung yang buru-buru ini ingin dapat tempat duduk dilantai dua bus, tapi peraturan bus mengatakan bahwa tempat duduk pengunjung akan diswitch di Jurug.

Jurug? Apa itu Jurug? Suami memilih duduk disamping pak supir dan guide bus. Kebetulan saya bisa bertanya apa makna dari Jurug. Mbak guide nya mengatakan kalau Jurug adalah sama seperti kebun binatang, bedanya dengan kebun binatang di kota lain adalah Jurug berada ditepian sungai Bengawan Solo.

Sepuluh menit kemudian bus mulai berjalan, terlambat satu jam dari jadwal seharusnya.

Rute yang kami lewati sama persis dengan yang tertulis di peta rute keliling, hanya saja karena kami kebagian waktu sore, jadi perjalanan lebih dipersingkat, juga dibeberapa destinasi kami tidak turun melainkan hanya mendengar penjelasan mbak tour guide nya.



Bus Werkudara kembali ke Dinas Perhubungan pukul 17.20. Seharian sudah kami berada diluar. Maunya masih ingin jalan-jalan lagi, tapi badan udah lengket bin keciut, jadinya kami ke hotel terlebih dulu untuk bersih diri dan beristirahat. Baru setelahnya, kami lanjutin deh malam mingguan di jalanan kota Solo.


19.10 - Menikmati Malam Minggu di Night Market Mangkunegaran

Saat sore tadi kami diantar oleh taksi menuju hotel, pak supirnya sangat ramah dan friendly sekali, beliau menunjukkan tempat wisata di Solo yang bisa dikunjungi, bahkan beliau bisa menebak kalau kami ini sepasang suami istri yang baru menikah dan lagi honeymoon. Shock pada awalnya, karena beliau bisa menebak dengan jitu sementara kebanyakan pedagang dan supir yang kami jumpai memandangi kami dengan pandangan aneh seakan-akan kami ini orang yang lagi pacaran.

Bapak supir yang bernama Pak Budi ini mengarahkan kami untuk menikmati malam minggu di pasar malamnya kota Solo, yang sedari pagi tadi jalanan ini ditutup karena suatu hal. Jadilah kami pergi ke Pasar Malam Mangkunegaran naik taksi yang lagi mangkal didepan hotel.

Sepanjang perjalanan menuju ke pasar malam, kami berinteraksi dengan pak supirnya. Jalanan yang serba macet nyaris tidak bergerak membuat pak supir mencari alternatif jalan lain dan jaraknya lumayan jauh. Tapi alhamdulillah justru bisa segera sampai ditempat tujuan.

Sesampainya di tujuan..., rupanya benar apa yang dikatakan bapak supir yang barusan, pasar malamnya ya gini gini aja, tidak terlalu istimewa. Ditambah hujan mengguyur beberapa menit kami berdua jalan-jalan melihat-lihat. Walhasil, dingin dan basah ikut menemani jalan-jalan kami. Untung ada yang bisa digandeng, halal lagi #hikikikik. Kami hanya membeli aksesoris untuk oleh-oleh dan beberapa jajanan untuk menghangatkan tubuh. Bersyukur hujannya turun tidak lama.


20.15 - Pindah ke Markobar Gibran Jokowi

Singkat cerita dan tanpa drama, kami pindah tempat karena pasar malamnya terlalu membosankan #maafkanlah. Mas husband yang menentukan tujuan kami selanjutnya. Do'i ingin menikmati martabak milik anaknya Pak Jokowi, sambil nongkrong menghabiskan malam minggu.

Ada 2 tempat markobar yang menjadi pilihan kami, dan kami memutuskan ke tempat pertama markobar didirikan. Mas husband membayangkan bahwa tempat ini bisa dijadikan tempat nongkrong. Namun ketika pak supir taksi menghentikan taksinya tepat didepan warung pinggir jalan, kami hanya melongo. Saya mbatin : "kita mau nongkrong di pinggir jalan, kangmas? emmmm, nda terbiasa nongkrong dipinggir jalan...". Saya pikir, mas husband ini sama kagetnya dengan saya.

Yasudahlah... Daripada ngongkos taksi lagi, capek dijalan pula, kami pasrah membeli disini. Uniknya, yang beli buwanyaaaakk pemirsahh, ada nomor antriannya pula. Saya meminta ke mas husband untuk membeli dan membawa markobarnya ke hotel saja. Ini dia tempat markobarnya.




20.55 - Makan Malam di Warung Penyetan

Sejujurnya kami berada dalam kondisi kelaparan namun tidak nafsu makan karena tempatnya tidak mendukung. Alhasil, usai menunggu martabak manis dengan delapan toping berbeda, karena kami tak punya tujuan lain, kami putuskan untuk balik ke hotel saja.

Rupanya diluar masih gerimis dan taksi tak kunjung lewat. Karena tempat markobar sudah penuh sesak dengan pembeli dan kendaraannya, kami berlalu berjalan kesebelah--tempat yang aman dan nyaman untuk menunggu taksi.

Perut sudah tak bisa dikondisikan lagi, terlebih saat mencium bau lezat--ikan yang dibakar. Mampirlah kami ke warung tersebut.

Sambil diiringi penyanyi jalanan yang bersuara mirip Broery Marantika almarhum, kami menunggu makanan yang kami pesan. Satu ikan kakap bakar, dua piring nasi, satu cah kangkung, es teh dan es jeruk (nipis). Lama juga penyajiannya, hampir 30 menit kami menunggu. Wes ga pake lama, kami langsung hajar menghabiskan makanannya.



Dengan habisnya makanan kami, berakhir pula jalan-jalan kami di kota Solo pada hari ini. Kami tak berencana keluar larut malam, karena jalanan begitu ramai dan hujan mengguyur lebat, bahkan hujan masih turun saat kami menunggu taksi yang lewat. Ini sudah hampir pukul 10 malam, dan kami berdoa agar taksi segera lewat dan menepi karena lambaian kami. Doa kami terkabul dua puluh menit kemudian.

Alhamdulillah kami bisa kembali ke hotel.