Saya Juga Ingin Menjadi Kartini, Selamat Hari Kartini

R.A Kartini
Sumber : www.freewaremini.com
Langkah panjang yang diambil R.A.A.A Kartini untuk menyetarakan gender laki-laki dan perempuan adalah bukan tanpa sebab dan bukan karena paksaan. Beliau dibesarkan di kota Jepara yang pada saat itu memiliki adat istiadat Jawa yang begitu kental karena beliau adalah seorang putri ningrat, berdarah biru namun harus selalu manut apa kata yang tertua.

Pada tahun 1900-an, ketika adat Jawa masih begitu kental, para perempuan Jawa kecil hanya dicetak untuk menjadi perempuan Jawa yang siap mengabdi kepada suami dan keluarga, tanpa harus memiliki pendidikan yang tinggi. Pada umur 10 sampai 13 tahun, perempuan Jawa dipingit selama beberapa waktu yang ditentukan oleh orang tua dan kemudian pada umur 16 tahun mereka harus sudah siap dinikahkan oleh laki-laki yang baru dikenalnya pada saat pelaksanaan ijab kabul. Tidak mengenal pendidikan, tidak mengetahui rasa cinta, tidak siap untuk melahirkan seorang anak, itu yang harus diemban oleh perempuan Jawa. Masa-masa kegelapan perempuan Jawa yang tidak ingin dan tidak boleh diteruskan pada generasi-generasi berikutnya. Itulah segenap pemikiran dan alasan Kartini.

Dalam masa pingitan, Kartini belajar membaca; belajar menulis dan belajar untuk menulis surat. Beliau intens berkirim surat, menyapa serta bertukar pendapat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Yang ternyata tulisan-tulisan dan surat-surat Kartini juga membawa perubahan dalam kesetaraan gender di negeri kincir angin tersebut sepeninggalnya.

"Wanita yang terdidik, kelak akan mendidik anak-anaknya dengan lebih maju"

Kartini mendapat dukungan dari madam dan teman-temannya di Belanda untuk mendirikan sekolah untuk pribumi. Kedua adik serta kedua orang tua beliau juga memberikan dukungan penuh untuk beliau. Sekolah untuk pribumi awalnya hanya mendapat satu murid (anak perempuan berusia 6-7 tahun). Para orang tua tidak mengijinkan anak-anaknya (terutama anak perempuan) untuk belajar. Namun lambat laun mereka sadar bahwa pendidikan itu sangat penting dan dapat merubah kesejahteraan dimasa depan, sehingga mereka mengijinkan anak-anaknya bahkan para orang tua ikut bersekolah layaknya anak-anak mereka. Kartini menerima mereka dengan tangan terbuka.

"Kita memang tidak bisa merubah dari mana kita berasal, namun kita bisa merubah pemikiran sehingga masa depan ikut berubah"

Walau perjuangan Kartini terhenti dikarenakan dia harus menerima pinangan dari bupati beristri tiga, tetapi semua perjuangannya untuk memajukan pendidikan dan kesetaraan gender tidak berhenti sampai disitu. Di jaman sekarang adalah hal mutlak bagi perempuan Jawa (khususnya) dan perempuan Indonesia (pada umumnya) untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin agar kelak bisa mendidik anak-anaknya dengan lebih maju. Tidak ada lagi yang namanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa keinginan Kartini adalah tidak sia-sia, yang bisa anda lihat sekarang adalah lebih maju dibanding dua abad yang lalu.

Saya trenyuh ketika menonton "Surat Cinta Untuk Kartini". Walau film ini adalah sebuah tayangan fiksi dengan berlatar belakang sejarah, tapi tidak menyurutkan tekad saya untuk melihat walau hanya seorang diri. Ini kali pertama saya nonton film sendirian Sekitar 5 menit sebelum film diputar, ruangan bioskop begitu sepi. Seat yang terisi hanyalah dibagian A,B,C dan D,, itupun tidak penuh terisi. Padahal hari ini adalah hari pertama penayangan film tersebut di bioskop seluruh Indonesia.

Saya juga ingin menjadi kartini, tapi saya sadar tak banyak yang bisa saya lakukan. Ada seorang junior menwa yang menasehati, dalam tulisannya dia menyebutkan : Perempuan jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki, jika perempuan tidak maju maka akan menjadi beban pembangunan, karena dengan kualitas hidup yang prima, perempuan akan menjadi aset pembangunan nasional yang potensial dan memberikan kontribusi positif dan signifikan terhadap pembangunan yang berkesetaraan gender.

Saya ingin menjadi salah satu aset pembangunan nasional Indonesia, namun saya hanya bisa berada di lapangan... Belum selesai saya berpikir, dia melayangkan tulisannya : Perempuan pemikir yang senang menulis itu cenderung lebih mendapat perhatian, lebih dikenal karena ilmunya dan suaranya disalurkan secara langsung dan sengaja berusaha disalurkan secara gamblang melalui metode tertentu kepada masyarakat. Daripada perempuan lapangan, yang terjun langsung, yang memang memfokuskan pada perjuangan dan kerja keras dalam bentuk konkrit.. Mereka tidak banyak memiliki kesempatan untuk mengeksiskan diri. Mungkin juga tidak banyak minat untuk menceritakan dirinya atau keinginannya dengan sebuah bukti. Sehingga keeksisannya seringkali hanya diusahakan oleh kemauan atau usaha pihak kedua (bukan dirinya sendiri) dan oleh kesadaran atau kemampuan masyarakat yang terbatas..

Entah bagaimanapun caranya, entah belum ada bayangan apa-apa dibenak saya yang bisa menunjukkan keeksistensian saya, saya ingin menjadi kartini dimasa kini dan mendatang. Karena saya masih jomblo dan sendiri, fokus saya hanya ada dikeluarga dan masa depan diri sendiri. Dan untuk perempuan-perempuan yang membaca tulisan saya, saya mohon jangan menyerah, mungkin saat ini anda mengalami hambatan dan beban yang berat, tapi hadapilah dengan penuh tawakkal, in sya allah kedepannya akan ada jalan. Habis gelap terbitlah terang. Tidak selamanya awan itu kelabu.

Selamat Hari Kartini, jayalah perempuan Indonesia!

Teruntuk kartini yang ada dihidupku,
Ibu
3 serangkai. Bude Julaikhah, almh. Mbah Uti (Ibu dari Bapak) dan almh. Mbah Haji Manggar (Ibu dari Ibu)

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Segitu dulu cerita kali ini. Terima kasih temans membaca artikel ini sampai akhir. Semoga bermanfaat.
Saya sangat ingin mendengar komentar temans setelah membaca. Silahkan, temans bebas berkomentar apa saja namun harap tetap menjaga kesopanan.
Sayang sekali komentar dengan subjek Anonymous akan terhapus otomatis, jadi mohon kesediaannya untuk memberi nama asli ya.
Terima kasih ^^.
Love, Lisa.