Preklampsia dan Kia (part 2)

Sesuai anjuran Ibu Mujiastutik dan Ibu Uning, kami pergi ke rumah sakit yang ada NICU nya. Dari lima rumah sakit dengan fasilitas NICU yang disarankan Bu Uning, mas husband memilih yang terdekat dari rumah : Rumah Sakit Haji Surabaya.



Masuk IGD dan menunggu paramedis dari ruang VK (singkatan Bahasa Belanda yang berarti bersalin) rupanya menurunkan tekanan darah saya. Tapi ini tidak bisa dijadikan patokan, karena bahkan disaat saya santaipun tekanan darah bisa melonjak drastis, padahal saya tidak punya riwayat hipertensi.

Seorang berseragam ungu dan berjilbab mendatangi saya, meminta saya untuk berbaring di salah satu ruangan IGD, kemudian dia mengukur tekanan darah saya sambil mengajak ngobrol. 170 per 100. Mbak cantik ini ternyata seorang bidan dan menangani ibu melahirkan sebelum menangani saya. Usai mengurus administrasi, mas husband mendorong kursi roda saya mengikuti mbak bidan menuju ruang VK.

Sampai di ruang umum VK, mas husband harus menunggu diluar karena laki-laki tidak diperbolehkan masuk. Saya diminta untuk naik ke atas salah satu ranjang orang sakit. Saya masih slow dan membiarkan semuanya terjadi dengan cepat agar saya bisa segera pulang ke rumah. Namun ternyata, beberapa mbak mbak dan ibu ibu berseragam menghampiri saya sambil membawa alat-alat yang asing. Fix, saya ngamar malam ini.

Jujur ini kali pertama saya kepikiran dan deg-degan. Dipasangi kateter, diambil darah, dicubles infus, sukses membuat saya terlihat seperti orang sakit atau bahkan menjadi orang yang sakit. Beberapa perempuan yang memakai seragam instansi - anak magang - bergantian menanyai saya : nama, umur, bagaimana kejadian awal sebelum disuruh ngamar, usia kehamilan dan lain sebagainya.

Beberapa menit saya dibiarkan sendiri, meratapi nasib mengamati langit-langit ruang bersalin. Jadi, benar dalam waktu dekat saya akan melahirkan (?). Hari ini hari Rabu, awal bulan dipenghujung tahun. Untuk kali kedua saya menginap di rumah sakit sebagai pasien.

Seorang perempuan berusia dewasa dan satu lagi berusia lebih muda mendatangi saya dan meminta saya turun dari ranjang untuk pindah ke kursi roda yang mereka bawa. Mas husband memutuskan untuk memindahkan saya ke ruangan yang lebih privat agar bisa ditunggui atau dijenguk keluarga. Alhamdulillah saya tidak lagi merasa sendiri.


Menunggu...

Benar saya akan melahirkan dalam waktu dekat. Untuk selanjutnya saya tidak mau berfikir atau bahkan membayangkan. Saya berusaha ikhlas dan jalani wae

Tiap 30 menit sekali paramedis datang untuk mengukur tekanan darah dan detak jantung si kecil. Sehari dua kali saya harus merasakan sakitnya suntikan dipantat (suntikan yang berisi cairan untuk menguatkan paru-paru si kecil agar siap jika harus dilahirkan ke dunia) dan sakitnya diambil darah ketika jarum suntik tidak menemukan pembuluh darah (karena tipisnya pembuluh darah saya). Jika diperlukan, darah saya diambil untuk diteliti perkembangan albuminnya. Tiap pagi dan sore, ada seorang perempuan (entah perawat entah bidan entah anak magang - yang sedang jaga saat itu) datang untuk menyeka dan mengganti pakaian saya. Satu kali memasuki ruangan yang penuh dengan peralatan medis raksasa untuk memeriksa kandungan.

Kamis dan Jum'at terlewati, rutinitas bertemu dengan jarum suntik menjadi biasa dan saya jadi kebal dicublesin. Beberapa waktu selang oksigen membantu pernafasan saya. Mas husband pun setia menunggu dan tidak meninggalkan saya kecuali mengambil resep obat dan mengambil pesanan makanan via gofut. Beruntung ruangan VK yang saya tempati ada kamar mandinya.

Saya bertanya pada mas husband, sudahkah menyiapkan nama untuk bayi yang diperut. Sayangnya mas husband hanya menyiapkan banyak nama untuk bayi laki-laki. Dagelan ancen. Kan bakal bayinya berjenis kelamin perempuan. Alhasil nama bayinya masih coming soon.

Ibu Retina selaku dokter obgyn paviliun memberi pilihan tentang dokter anak yang nantinya akan menangani bayi prematur saya. Terpilihlah nama Ibu Monique. Dan mereka berencana sesuai dengan pertimbangan paramedis, janin akan dilahirkan pada Sabtu pagi.


Pada Akhirnya...

Jum'at malam saya terbangun dari tidur karena saatnya pengukuran tekanan darah dan detak jantung bayi. Tekanan darah saya berada di angka 160 per 110, dan detak jantung bayi 117 (yang mana normalnya antara 120 sampai 160 degupan per menitnya). Perawat yang menghitung, mengulangi lagi pengukuran detak jantung bayi dan hasilnya tidak ditunjukkan. Mereka pergi begitu saja tanpa berpamitan seperti biasa. Aku dan mas husband melanjutkan tidur.

Tidak sampai lima menit, mereka datang kembali dengan wajah tergesa-gesa. Salah seorang diantaranya (yang paling senior) memberitahukan bahwa akan ada penindakan lebih lanjut. Tapi jenis penindakannya tidak diberitahukan. Tabung besar yang berisi oksigen yang sedari kemarin habis, diganti oleh seorang perawat yang berbadan besar. Satu persatu paramedis keluar dari kamar.

Tak lama ibu perawat yang tadi mengganti tabung oksigen berkata, "mbak, ganti baju dulu ya, pakai ini...". Beliau dengan sigap membantu saya berganti baju. Mas husband yang terheran-heran bertanya, "lho bu, istri saya baru ganti baju sore ini kok..". Ibu perawat menjawab, "iya pak, buat jaga-jaga saja pak..".

"Bajunya kok aneh ya bu, ini baju apa, fungsinya apa?", tanya mas husband lagi. "Ini baju operasi mas...", jawabku. "Lah ini ibunya tau, pak..".


Saat dalam kamar hanya ada mas husband dan saya, air mata mengalir tiba-tiba, hati terasa nelangsa, dan saya merasa terpuruk. Tidak pernah saya sangka, hari persalinan yang jatuh pada hari Sabtu yang saya kira terlampau dekat, rupanya Allah berkehendak lain, harinya dipercepat menjadi Jum'at malam. Saya berharap tidak terjadi apa-apa dengan bayi di perut. Lantunan Al Qur'an kembali saya dekatkan diperut dan berharap detak jantung si kecil kembali kuat.

Beberapa menit kemudian seorang anak magang kembali mengukur tekanan darah dan detak jantung bayi. Detak jantung bayi meningkat sementara tekanan darah saya tetap. Saya lega dan kembali melanjutkan tidur.

Pukul setengah 10, kami kembali dikagetkan oleh paramedis yang datang gerudukan untuk menginfokan bahwa setengah jam lagi operasi akan dilakukan. Mas husband kaget namun saya sudah siap. Benar, jika tidak dikeluarkan, janin akan berkurang fungsi organnya karena tidak mendapat nutrisi, inilah alasan kesiapan saya.


Ranjang beserta saya didorong oleh ibu perawat yang berbadan besar tadi menuju ruang operasi lantai lima (ruang VK lantai tiga). Sementara mas husband mengurus kembali administrasi operasi di lantai satu. Saya dipindahkan ke ranjang yang lebih kecil dan lebih keras, yang saya ketahui belakangan ranjang tersebut adalah ranjang untuk operasi.

Saya menunggu seorang diri, yang saya bisa lakukan hanyalah melihat langit-langit ruangan transit operasi dan berdoa agar semua dilancarkan Allah. 



Tidak ada komentar

Posting Komentar

Segitu dulu cerita kali ini. Terima kasih temans membaca artikel ini sampai akhir. Semoga bermanfaat.
Saya sangat ingin mendengar komentar temans setelah membaca. Silahkan, temans bebas berkomentar apa saja namun harap tetap menjaga kesopanan.
Sayang sekali komentar dengan subjek Anonymous akan terhapus otomatis, jadi mohon kesediaannya untuk memberi nama asli ya.
Terima kasih ^^.
Love, Lisa.