Ketika Nenek Buyut Bergelar Mas Nganten


...ibunya ayahnya ibu itu panggilannya Mas Nganten, ibu ngga ngerti artinya, tapi ya panggilannya memang begitu...

Setelah lulus dari pekerjaannya, ibu dan bapak banting setir menginvestasikan uangnya untuk beternak ayam petelur di daerah Wajak, Malang. Lulus dari pekerjaan maksudnya adalah pensiun karena sudah waktunya, yaa ibu sudah hampir 35 tahun berkecimpung didunia farmasi, pekerjaannya sebagai apoteker telah membawa beliau menjadi wanita karir yang punya berbagai penghargaan dari perusahaan Kimia Farma Indonesia. Sementara bapak yang berprofesi sebagai wiraswasta percetakan pun ikut meluluskan diri dari pekerjaan (namanya juga punya usaha sendiri, jadi lulusnya ya lulus sendiri hahaha) dan bersama ibu membangun usaha di Malang. 

Bukan berarti orang tua saya di Malang dan saya beserta adik saya ada di Surabaya, kami tidak pernah bertemu. Ngga bisa rasanya kalau saya pribadi tidak pernah bertemu orang tua dan juga sebaliknya. Komunikasi tetap terjalin setiap hari, telpon-telponan, whatsapan, sms-an. Seringnya justru ibu yang lebih protektif terhadap kami berdua. Beliau tidak pernah absen menghubungi kami setiap waktu. Tetangga dan beberapa saudara ikut menjadi mata-mata dan penjaga kami di Surabaya. Ihihihii, ibu saya keren ya.

Seorang wanita karir yang memiliki otak luar biasa dan kemampuan yang diatas rata-rata seperti ibu, walau sudah pensiun, beliau memilih untuk tetap bekerja baik otak maupun fisiknya. Itu bukan sebuah pilihan bagi beliau tapi sudah menjadi sebuah kebiasaan. Kemampuan ibu dalam hal mengingat dan berhitung, saya akui sangat sangat luar biasa (I wish I like my mom) termasuk ketika bercerita tentang asal usul keluarganya.

Saya adalah pendengar setia ketika ibu sedang menasehati, marah-marah dan bercerita tentang masa lalunya. Itu juga bukan merupakan suatu pilihan, tapi sudah jadi sebuah kebiasaan hahahaha, pasalnya si adik adalah orang yang tidak terlalu peduli terhadap rumah dan isinya. Ibu masih ingat detail masa lalunya, masa lalu orang tuanya (kakek - nenek saya) dan masa lalu keluarga masing-masing orang tua dari orang tuanya.

Suatu malam kami berkumpul di ruang keluarga. Seperti biasa adik dan bapak asyik menonton TV dan saya duduk berada disamping ibu.

Ibu bercerita singkat tentang kehidupan orang tua dari ayahnya ibu. Kakeknya ibu yang merupakan saudagar Cina menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari Madura dan dipanggil Mas Nganten kemudian hidup menetap menjadi muallaf di daerah pesantren Pasuruan. Nama islam kakek buyut adalah Fatah. Dari pernikahan itu menghasilkan delapan anak, ayahnya ibu adalah anak ke tujuh.

Saya bertanya pada ibu, apa itu arti dari Mas Nganten. Ibu hanya bilang, "...ibu ngga ngerti artinya, tapi panggilannya memang begitu. Mas Nganten itu asalnya dari Madura, mungkin dia punya gelar bangsawan disana". Selanjutnya bertanyalah saya pada do'i dan temannya yang bergelar Raden, asal Madura. Namun tak seorangpun bisa menjawab apa arti dari Mas Nganten. Pertanyaan itu pun tidak sengaja terlupakan hingga hampir dua tahun lamanya.

*

Sekitar dua bulan yang lalu saya tertarik dengan perpustakaan kecil milik almarhum pakde Chayi, kakak tertua ibu. Perpustakaan kecil ini berisi koleksi buku-buku tentang Jawa dan Islam, dua buah objek bacaan favorit beliau. Bude Han menekankan pada saya untuk tidak sungkan meminjam buku kemudian membacanya, terkadang pula bude meminta saya untuk mencarikan suatu buku yang ingin beliau baca. Luar biasanya bude mengingat judul-judul buku yang ingin dibacanya. Kebanyakan koleksi buku adalah cetakan sebelum abad 21, sekitar sebelum tahun 1990-an, dan edisinya pun terbatas.

Saya tertarik pada buku yang berjudul Perkembangan Peradaban Priyayi, cetakan Gajah Mada University Press tahun 1987. Jujur saja saya hanya tertarik pada judulnya, ketika membaca isinya saya merasa bingung karena tatanan bahasanya yang belum terjamah EYD (bercampur-campur antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia) dan berat dengan istilah-istilah piranti kerajaan Jawa kuno. Pusing rasanya ketika membaca sebuah halaman yang berhubungan dengan halaman sebelumnya, membuat saya harus terus mengulang halaman-halaman sebelumnya. Ahahahaha, mungkin karena saya tidak sepenuhnya konsentrasi membaca bukunya, beberapa rutinitas membuat saya lupa melanjutkan bacaan. Saat ingin melanjutkan bacaan, saya terjebak dengan istilah-istilah kuno sehingga saya harus mengulang kembali ke halaman awal.

Saya bertekad menyelesaikan membaca buku ini. Dan semalam saya menemukan jawaban yang saya inginkan sekitar dua tahun yang lalu. Arti dari "Mas Nganten".

Di buku ini tertulis...

Gelar Kepriyayian
Salah satu gelar kepriyayian Jawa pada masa lalu adalah tampak pada gelar yang dipakai pada nama seseorang. Gelar kepriyayian tidak semata-mata ditentukan oleh asal keturunan tetapi juga ditentukan dari jabatan seseorang dalam pemerintahan. Dari gelar keturunan tampak asal dan tingkat kebangsawanannya, sementara dari gelar jabatan tampak jenjang kedudukannya dalam pemerintahan.
Mengenai tingkat dan gelar kepriyayian di Jawa pernah ditulis L.W.C Van de Berg pada akhir abad yang lalu, yang mana tulisan tersebut tampak cukup luas dan teliti namun Van de Berg tidak dapat membedakan antara jenjang jabatan, gelar dan sebutan.
Gelar, jenjang dan sebutan memiliki hubungan yang erat. Gelar keturunan melekat pada nama seseorang dan diwariskan secara turun temurun. Namun gelar jabatan tidak dapat diwariskan karena gelar tersebut dapat berubah, seperti seseorang naik pangkat. Gelar jabatan tetap dipakai oleh orang tersebut walau pemakainya berhenti dari jabatannya atau pensiun.
Sebutan seperti “gusti, bendara, bagus dan lara/rara“ dipergunakan untuk menghormati seseorang, karena menurut adat Jawa tidaklah sopan menyebut nama seseorang tanpa sebutan kecuali terhadap anak-anak sendiri, teman akrab dan terhadap orang-orang bawahan (abdi).
Gelar keturunan yang menunjukkan kebangsawanan, pola pokoknya berasal dari Kerajaan Jawa yang sesudah tahun 1856 terbagi menjadi dua, Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Gelar kebangsawanan yang tertinggi sesudah raja ialah raden mas bagi anak laki-laki dan raden ajeng bagi anak perempuan. Bagi putra raja, baik laki-laki maupun perempuan, gelar kebangsawanan itu didepannya ditambah sebutan bendara, jadi bendara raden mas dan bendara raden ajeng. Dikemudian hari setelah menjadi dewasa dan kawin bendara raden mas diganti pangeran, sedang raden ajeng diganti raden ayu. Gelar raden mas dan raden ajeng selanjutnya dipakai oleh cucu, cicit dan piut raja.
Gelar kebangsawanan setelah piut raja dan selanjutnya hanya raden. Ketika masih kanak-kanak gelar raden itu sering ditambah sebutan bagus atau gus, dan lara/rara bagi anak perempuan. Raden lara/rara ini setelah kawin berubah menjadi raden nganten. Gelar raden menurun kepada anak cucu dan tidka ada pembatasannya. Selama seseorang dapat menunjukkan bahwa nenek-moyangnya bergelar raden, dapat mewarisi gelar itu. Maka seorang ayah bergelar raden maka anak cucunya juga bergelar raden.
Gelar Mas menunjukkan asalnya yang dari orang kebanyakan dan mendapat kesempatan menjadi priyayi dan dari segi status sosialnya menunjukkan kelebihannya dari lingkungan rakyat kebanyakan. Anak-anaknya dipanggil dengan mas agus dan mas lara/rara. Isterinya mendapat gelar mas nganten.
Gelar keturunan atau gelar kebangsawanan tetap berpedoman pada adat yang berlaku. Di daerah Gupernemen menggunakan sebagai patokan utamanya gelar keturunanyang dipergunakan oleh bupati, karena bupati itu dahulunya memang raja di daerah. Di daerah Guperneman, bupati itu dapat bergelar tumenggung, tumenggung arya, adipati (arya), dan pangeran (raya). Istri bupati yang berstatus permaisyuri dengan tidak mengingat asal keturunannya mendapat gelar raden ayu. Istri ampeyan mendapat gelar mas ayu, mas ajeng atau mas nganten. Anak-anaknya semuanya mengikuti gelar ayahnya.
Bupati yang bergelar mas atau kyai tumenggung, anak-anaknya bergelar mas. Jika salah seorang keturunannya menikah dengan perempuan bergelar raden ajeng atau raden lara/rara, maka anak cucu yang lahir dari perkawinan ini dapat bergelar raden. Jadi gelar raden ini dari garis ibu. Maka tidak mengherankan kalau priyayi-priyayi yang hanya bergelar mas atau kyai berusaha memperoleh isteri dari lingkungan priyayi yang bergelar raden agar kelak anak cucu memperoleh gelar raden.

Buku ini yaa, huwow banget pokoknya!
Kapan-kapan deh saya review lebih lengkap, in sya allah.

Jadi... Pengertian Mas Nganten dibuku ini adalah istri dari seseorang yang bergelar Mas dalam kerajaan Jawa, di halaman lain dalam buku ini menyebutkan Mas Nganten adalah istri dari ampeyan bupati Gupernemen. Yang bergelar Mas adalah seseorang yang menjadi priyayi karena jasa dan status sosialnya yang melebihi dari rakyat kebanyakan, gelar Mas ada yang didapat dari pemberian raja atau pemberian kolonial Belanda karena jasanya dalam pemerintahan. Ampeyan berarti istri yang menjadi selir raja (bukan bergelar permaisyuri). Sementara bupati Gupernemen adalah raja yang bertugas di daerah yang masuk dalam lingkungan administrasi pemerintahan kolonial Belanda.

Apakah ada perbedaan pengertian Mas Nganten di adat Jawa dan adat Madura ya? Nah, untuk menjawab pertanyaan ini perlu baca buku Perkembangan Peradaban Priyayi di Madura. Ada ndak ya buku yang mendekati judul itu...

Jika dituliskan secara rinci ada bagian cerita yang hilang, seperti dimanakah kakek Cina dan Mas Nganten ini bertemu; apakah kakek Cina ini masuk agama Islam sebelum atau sesudah menikah dengan Mas Nganten. Kemudian dikepala timbul pertanyaan lagi, apakah sebelumnya Mas Nganten ini pernah menikah dengan priyayi bergelar Mas atau dengan bupati Gupernemen? Karena di buku hanya disebutkan bahwa gelar Mas Nganten bukan gelar turun temurun. Sementara ibu tidak bisa menjawab pertanyaan saya karena memang yang diceritakan hanya sedikit, entah sebab itu merupakan rahasia atau bagaimana, sayapun tak mengerti.

Ah ya sudahlah, tidak penting dengan gelar gelar dan teman-temannya. Yang penting Mas Nganten ini asli nenek buyut saya. Eh iya, bahkan nama asli dari Mas Nganten ini pun juga tidak ada yang tahu. Kehidupan jaman dahulu memang sangat misterius ya. Beda banget sama jaman sekarang yang serba dipublish melalui sosial media, tidak mengingat itu rahasia ataupun berita. Semuanya serba terbuka dijaman sekarang.

Baik, segini dulu cerita saya. Saya mau lanjut baca dan menyelesaikan membaca buku ini.

Oya, buat temans yang tertarik ingin membaca buku Perkembangan Peradaban Priyayi, ini saya cantumkan cover depannya. Selamat membaca ^^



5 komentar

  1. Jadi tau deh... Thanks u

    BalasHapus
  2. Halo mbak, coba deh baca buku Pramoedya Ananta Toer berjudul Gadis Pantai, di situ juga disinggung Mas Nganten :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku baru baca cerita yang terinspirasi dari gadis pantai ini... Bagus sekali, dan juga buat aku nyari nyari di internet dan berakhir di sini..

      Hapus
  3. Halo mbak, coba deh baca buku Pramoedya Ananta Toer berjudul Gadis Pantai, di situ juga disinggung Mas Nganten :)

    BalasHapus

Segitu dulu cerita kali ini. Terima kasih temans membaca artikel ini sampai akhir. Semoga bermanfaat.
Saya sangat ingin mendengar komentar temans setelah membaca. Silahkan, temans bebas berkomentar apa saja namun harap tetap menjaga kesopanan.
Sayang sekali komentar dengan subjek Anonymous akan terhapus otomatis, jadi mohon kesediaannya untuk memberi nama asli ya.
Terima kasih ^^.
Love, Lisa.